Demi Davan

6.3K 1.3K 190
                                    

"Jadi selama ini lo diem di tempat guru SMP lo?" tanya Andro ketika sore itu jam besuk baru saja berakhir. "Siapa namanya? Pak Farel?"

"Pak Ferial," Brianda meralat.

"Kamu nggak diapa-apain kan sama dia?" tanya Naomi senewen.

"Nenen gue diremas-remas, Nom," jawab Brianda. "Tapi boong."

Yang dibicarakan Brianda memang berfakta. Selama minggat, ia tinggal di sanggar karate milik Pak Ferial. Bangunan tua penuh debu itu sudah lama tak diisi orang. Pak Ferial pun sudah tak mengajar di situ sebab murid-muridnya pindah ke akademi lain. Hanya saja, kebetulan siang itu Pak Ferial iseng datang ke sana. Dan betapa terkejutnya ia mendapati Brianda sedang tiduran di dekat pintu.

"Sejak kapan kamu di sini?" Brianda masih ingat bagaimana mimik Pak Ferial saat itu. Matanya melotot. Bibirnya bergetar. Keringatnya lolos melalui pelipis.

"Kemarin, Pak," Brianda berdusta. "Saya kemaleman latihan taekwondo. Jadi nggak berani pulang soalnya di jalan ada genk tukang bacok."

Ketika bicara dengan Pak Ferial, entah kenapa Brianda merasa seseorang tengah mengawasinya. Begitu ia hendak memastikan, bayangan itu seperti tiba-tiba menghilang. Dan malah berganti menjadi Ail yang muncul beberapa menit kemudian.

"Oh iya, Bri," Andro memecah renungan Brianda. "Om lo mau minjemin duit buat rawat inapnya Davan, kan?"

"Belum, Ndro. Tapi kayaknya negatif, deh."

Brianda bisa melihat keluhan di raut teman-temannya. Sejak mereka baikan, masalah memang tidak berhenti begitu saja. Davan yang berhasil ditangani mesti dirawat beberapa waktu. Itu artinya, harus ada uang yang keluar dari tabungan.

Tapi Brianda berkeras supaya hanya uangnya yang terpakai. Ia tahu sekali, ketiga temannya tidak bisa direpotkan dalam hal ini. Andro butuh uang untuk menunjang anggota keluarganya yang bejibun. Ail pun sama saja. Jauh-jauh hari ia sudah mengumpulkan uang untuk kuliah. Kalau Naomi, rasanya tabu juga pinjam sama dia. Terlebih sampai detik ini, keluarganya masih begitu sentimen pada Brianda.

"Kalau gue ikut kompetisi karate gimana?"

Ketiga kawannya menoleh dengan cepat.

"Kompetisi yang mana?" tanya Naomi.

"Itu lho, yang pengumumannya ditempel di mading sanggar karate."

"Yang khusus cewek kan masih dua bulan lagi. Nggak akan sempet," tukas Andro.

"Jangan bilang lo mau ikut yang khusus cowok."

"Duh, Ail. Lo emang yang paling paham diri gue, deh." Brianda menyunggingkan senyum. "Hadiah duitnya geboy indehoy, Guys. Apalagi daftarnya boleh pake nama akademi. Nah, yang ini bisa gue atur sama Pak Ferial."

"Nggak boleh, Bri!" tukas Naomi. "Meskipun kita tahu kamu jagoan neon. Kamu harus inget, bela diri sama cowok nggak akan sama."

"Nah, tuh. Naomi bener. Lo jangan banyak tingkah, deh."

"Ini satu-satunya jalan, Guys." Briandamengepal tangan. "Demi Davan!"    

*
*
*

Brianda memang tak punya pilihan lagi. Satu-satunya jalan yang terlihat memang cuma ini. Kompetisi karate.

Sebenarnya dia bisa saja mencari dana dengan cara jahat. Seperti ngepet, nyopet, bahkan begal. Tapi Brianda berani taruhan, Davan tidak akan rela nyawanya diselamatkan oleh uang haram. Jadi satu-satunya jalan untuk mendapat uang adalah mengikuti kumite.

Kemarin ia sudah membicarakan hal ini dengan Pak Ferial. Dan sesuai dugaan, gurunya itu langsung menolak keras.

"Saya bener-bener nggak tahu harus ngapain lagi, Pak." Bukan Brianda namanya kalau ia menyerah begitu saja. Setelah Pak Ferial menolak usulannya, ia langsung berlagak sedih. "Kalau Bapak nggak kasih izin, saya mau jual ginjal aja, deh."

Underground RascalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang