Membuka Tabir

6.5K 1.4K 171
                                    

"Mending sekarang lo pergi."

Betapa dinginnya sikap cowok di hadapan Zian. Bukan saja nada suaranya yang datar, tatapan matanya pun seperti menjelaskan kesakitan mendalam.

"Lo budek? Davan bilang pergi!" sahut Andro galak.

"Gue..."

"Zian," potong Ail sambil menatap mata cowok itu. Lewat sorotannya ia memohon agar Zian segera pergi. Sebab bagaimanapun, keadaan ini sedang tidak baik.

Brianda yang KO langsung tak sadarkan diri. Cepat-cepat panitia menggotongnya ke ruang perawatan. Dan betapa terkejutnya mereka ketika mengetahui Brianda ini perempuan.

Sempat terjadi perdebatan di antara mereka. Yang satu menyalahkan kelalaian penanggungjawab administrasi, yang lainnya menuduh pemeriksa pertandingan. Namun perselisihan itu segera berakhir ketika teknisi kesehatan mengatakan luka Brianda tidak bisa ditangani di ruang perawatan. Secepatnya harus dibawa ke rumah sakit.

Perlu waktu untuk menjelaskan kejadian ini pada Davan. Pasalnya, cowok kurus itu langsung kehilangan kontrol begitu tahu Brianda masuk rumah sakit. Kalau saja Naomi tak menahannya, sudah pasti ia akan menerjang ruangan padahal kakinya patah.

"Bukannya kita mau ngebohongin lo, Dav," Ail mencoba menjelaskan ketika Andro dan Naomi sudah tak bisa berakata-kata. "Tapi keadaanya emang nggak memungkinkan."

"Manusia macam apa yang ngebiarin sahabatnya dalam bahaya?"

Kalau mengikuti egonya, Ail pasti tersinggung. Tapi belakangan ini ia memang bisa mengotrol emosi. Jadi walaupun kata-kata Davan menyayat hati, ia tetap tenang.

Dan apa yang dilakukannya memang tidak salah. Melihat betapa tenangnya sikap Ail membuat emosi Davan surut. Terlebih setelah dokter mengatakan Brianda sudah ditangani. Rasanya Davan patut meminta maaf pada teman-temannya. Ia sadar, bukan Ail, atau Naomi, atau Andro yang mesti menerima luapan emosinya. Melainkan Zian.

Zian tahu kehadirannya tak diharapkan siapapun. Davan sudah mengusirnya, Naomi menujukkan ketidaksukaan, Andro berani menggertak, dan Ail memintanya pergi sekarang. Setelah nada pengusiran kembali terdengar, terpaksa Zian memutar badan lalu menjauhkan diri dengan langkah gontai. Bodoh! keluhnya seraya memukul-mukul kepala. Ia duduk di salah satu bangku lalu merenungi tindakannya hari ini.

Sebenarnya tak ada sedikitpun niatan dari Zian untuk menghabisi Brianda. Ia justru ingin menyelamatkannya. Dari Arthur Jericho, karateka yang sudah menunggu mereka di final. Kalau Zian tidak mengalahkan Brianda, maka gadis itulah yang akan melawan Arthur.

Tentu saja Zian tak mau hal itu terjadi. Ia tahu sekuat apa Arthur, sejahat apa atlet itu kalau di arena. Tak peduli siapapun lawannya, maka Arthur akan menghajar tanpa ampun.

Atas dasar pemikiran itulah Zian pun nekat. Padahal demi Tuhan, ia pun amat tersiksa dengan perasannya. Ketika tangannya memukul, ketika kakinya melayang, ketika serangannya mengenai badan Brianda, ia dilanda perasaan bersalah. Ia tidak tega, tidak ingin, tidak sanggup menyaksikan gadis yang disayanginya terluka.

Tapi sekali lagi, ingatan tentang Arthur yang membuatnya mesti tega. Daripada Brianda dihajar monster itu, lebih baik dirinya yang menghentikan Brianda. Meskipun memang, caranya kelihatan pengecut bagi sebagian orang.

"Zian."

Zian menoleh. Didapatinya Ail yang mendekat, kemudian duduk di sebelahnya.

"Mau gue yang obatin atau lo aja?" tanya Ail seraya menyodorkan kotak P3K. Ketika Brianda dibawa ke rumah sakit, Zian ikut juga. Ia belum sempat mengobati luka yang diciptakan Brianda di wajahnya.

Zian meraih sodorannya tanpa bicara. Barulah ketika ia membuka kotak kesehatannya ia pun bertanya, "Brianda gimana?"

"Masih pingsan."

Zian meringis ketika menempelkan kapas berantiseptik ke tulang baji. Baru ia sadari kalau di pertandingan tadi Brianda berhasil memukul bagian itu. Lukanya memang tidak berdarah, tapi lebamnya pasti kelihatan beberapa menit lagi.

"Lo kenapa nggak bilang yang sebenarnya?" tandas Ail. "Kalau dari awal lo cerita, mungkin kita nggak akan berpikiran buruk tentang lo."

"Lo tahu sesuatu?"

Ail mengangguk. "Dari ayahnya Steve."

Setelah berdamai dengan waktu, Ail memang memperbaiki hubungannya dengan beberapa orang. Salah satunya Steve dan ayahnya. Meski sempat ditolak, pada akhirnya anak-ayah itu luluh juga. Mungkin mereka capek mengusir Ail selalu datang, mungkin juga keduanya sadar bahwa gadis itu bisa membantu Steve mengkaji pelajaran yang tertinggal.

Melalui kedekatan itu ayah Steve menceritakan kebenaran. Katanya, dulu ia telah berniat untuk melaporkan kelakuan Underground Rascal ke polisi. Namun karena hari itu Pak Ali bersikap bijak, maka niatnya itu ia urung beberapa waktu.

Faktanya, Pak Ali yang bersikap demikian adalah karena Zian. Cowok itu memohon agar teman-temannya dibebaskan. Bahkan seandainya Pak Ali tidak lekas berdiri, anak ajarnya ini pasti menyungkur dan bersujud di kakinya.

"Akan Bapak usahakan untuk melindungi mereka," jawab Pak Ali kala itu. "Asalkan kamu jelaskan semuanya dengan rinci. Mulai dari siapa dalangnya, hingga markasnya."

Zian tidak punya pilihan. Ia tidak ingin teman-temannya dihukum lembaga keadilan. Jadi mau tak mau ia pun melanggar janjinya. Yakni, membongkar Underground Rascal.

Hanya pada Pak Ali Zian berani bicara. Ia percaya, kepala sekolah yang diseganinya itu pasti bisa membantu. Meskipun ujung-ujungnya Underground Rascal kena hukum, setidaknya sanksi yang diberikan hanya di ranah sekolah. Tidak sampai ke polisi.

Tidak sampai situ usaha Zian berakhir. Setelah bicara pada Pak Ali, ia memberanikan diri untuk menghadap ayahnya Steve. Ia bukan saja memohon agar teman-temannya dibebaskan, ia pun meminta maaf dan berjanji kejadian ini tak akan terulang.

Seandainya dilihat lebih jeli, sebenarnya Zian sudah berbuat banyak untuk teman-temannya. Ketika Underground Rascal mengunggah permintaan maaf dan identitas mereka ketahuan, Zian memastikan agar mereka tidak ditindas lagi. Bahkan tidak hanya itu. Zian pun menegaskan inilah kasus penindasan terakhir di SSHS. Dengan bantuan beberapa teman yang sudah insyaf —seperti Vicki dan Boim—ia berpatroli agar kesejahteraan siswa dapat terjalin merata. Tidak ada pelecehan verbal, tidak ada penindasan, tidak ada pembagian kasta. Kalau masih ada yang berani melanggar, Zian yang langsung turun tangan. Ia akan membawa orang itu langsung ke hadapan Pak Ali untuk didakwa.

"Gue udah bilang kebenaran ini sama yang lain," ungkap Ail. "Mungkin besok mereka bakalan bilang sesuatu sama lo."

Zian mengangguk. "Makasih."

"Omong-omong," sambung Ail. "Gue minta maaf atas perselisihan kita waktu itu."

"Maaf diterima." Zian tersenyum angkuh, lalu mengangsurkan tangan kanan agar dijabat Ail. "Gue juga sama. Maafin, ya."

"Oh iya, makasih juga udah ngasih tahu lokasi Brianda waktu dia kabur."

"Hmmm. Ya," Zian menjawab, Ail beringsut. "Oh iya, gue denger lo baikan sama Steve," ucapnya sambil berdiri. "Selain itu, lo juga selalu jenguk sambil bawain bunga."

"Bunga sisa doang."

"Tapi Steve suka banget, lho." Zian bicara lagi. "Bokapnya yang cerita sama gue. Abis lo jengukin dia, si Steve pasti senyum-senyum sendiri."

"Gue mesti cabut sekarang."

"Eh, tunggu!" panggil Zian. "Gue pengin mastiin sekali lagi. Brianda beneran nggak apa-apa, kan?"

"Bakalan lebih baik kalau lo jenguk dia." Ail menyunggingkan senyum. "Kalau bisa sambil dibawain buah-buahan, makanan enak, dan amplop berisi duit. Paham?"

-bersambung

Underground RascalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang