Monyet, Jerapah, Setan

7K 1.6K 170
                                    

Sudah hampir satu jam Ail berada di posisinya. Ia mematung. Membisu. Dan mengeparatkan orang-orang yang menatapnya dengan heran. Barangkali mereka mengira Ail adalah patung penghias jalan, sebab dari tadi tak bergerak padahal langit tak henti menangis.

Titik hujan semakin gencar menginjaki ubun-ubunnya. Petir-petir bersahutan memekakkan telinga. Angin musiman mengamuk hingga sekujur badannya menggigil. Namun, Ail tidak peduli. Sekalipun dadanya sakit, kepalanya pening, dan mungkin tiket sakit akan didapatkannya setelah ini. Ia tetap tidak mau beranjak.

Ail mengembus napas berat. Dadanya terasa sakit, seakan-akan ada sesuatu yang menghimpit paru-parunya dengan ganas. Belum lagi kepalanya mulai berdenyut-denyut, bukti protes dari tubuhnya yang disiksa kucuran hujan.

Lalu secara perlahan, air matanya turun membentuk sungai di pipi. Makin banyak, makin berbaur dengan lautan hujan. Derasnya air yang jatuh dari langit membuat bahunya semakin naik turun.

Ia tak perlu menjabarkan sekacau apa perasaannya sekarang. Yang pasti ia sangat ingin berteriak, memekik, dan protes pada Sang Pencipta.

KENAPA, TUHAN?! KENAPA ENGKAU BEGITU TEGA PADAKU? MULA-MULA KAU SESATKAN AYAH, LALU KAU AMBIL IBU. DAN SEKARANG?! SEKARANG KAU SIKSA AKU MELALUI ORANG-ORANG-JAHAT ITU! DIMANAKAH ENGKAU, TUHAN?! BUTAKAH ENGKAU ATAS APA YANG AKU LALUI HARI INI? AKU DITINDAS, DILECEHKAN, DIPECAAAAAT!!!

Ail semakin tergugu di bawah guyuran hujan. Tidak ada yang membelai hatinya, tidak satupun yang menenangkannya. Ia sendirian. Kesepian. Hancur. Dan capek!

"Ail?!"

Ail mendengar seseorang memanggilnya. Cepat-cepat ia menengadah agar air matanya tersamarkan butiran hujan.

Makhluk yang memanggilnya adalah Brianda. Gadis tomboy itu ada di seberang jalan. Rambutnya yang pendek berkibas-kibas diserang hujan, badannya basah kuyup, dan mukanya memberengut. Tapi ada yang aneh. Brianda tidak sendiri. Ada Zian di sampingnya. Dan Ail seperti mengerti kenapa muka Brianda memberengut.

"Ngapain masih ngintilin, sih? Udah sana pulang!" omel Brianda. Ketika ia sampai di hadapan Ail, senyumnya terukir. "Lagi apa, Ail? Kok, hujan-hujanan?"

"Gue yang harusnya tanya," jawab Ail. Tangis langit sudah mulai mereda. Titik air yang diterjunkannya tak seganas tadi. "Kalian abis ngapain?"

"JJC, Ail. Jalan-jalan cantik," Zian terlebih dahulu menjawab.

Ail mengerutkan kening. Tidak biasanya Zian bicara sambil tersenyum.

"Berdua?"

"Tadinya gue doang, tapi ni kutu ikut," cetus Brianda sambil menyenggol bahu Zian.

"Emang lo mau ke mana?" tanya Ail. Nadanya tidak mendesak, tidak juga berartikan keingintahuan.

"Datengin sanggar taekwondo."

Brianda menginjak kaki Zian ketika cowok ini menjawab. Ngapain lo bilang, Begok! Begitu bunyi mimik Brianda pada cowok itu.

"Bri," kata Ail sambil melipat tangan di dada. "Lo udah tahu tahun ini ada apa, kan?"

"Ada apa, ya? Hihihi."

"Ujian, Non."

Brianda nyengir. Di antara yang lain, ia memang yang paling bandel. Di saat teman-temannya fokus belajar, maka ia lebih memilih senang-senang. Salah satunya bertaekwondo. Hobi bela dirinya itu memang sudah digelutinya sejak dulu. Ia merasa bahagia dengan taekwondo. Rasanya semua tekanan hidup bisa selembut kapas kalau ia melakukan itu.

"Omong-omong, kenapa lo di sini?" Brianda menatap curiga. Ia sangat tahu jadwal Ail. Jam segini, si Nona Es harusnya ada di cafe. Jadi pelayan untuk mencari sesuap nasi.

Underground RascalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang