Brianda mengusap keringat di dahinya. Ia baru saja mengencangkan otot melalui latihan taekwondo. Ia berlari keliling lapangan sepuluh kali, pemanasan —berkomposisi sit up, back up, dan push up— lima set, dan bertanding dengan junior.
"Nom, masih lama?" tanya Brianda sambil mendekati cewek yang memintanya melakukan wawancara tempo hari.
Naomi menyerahkan air mineral kemudian menengok ke beberapa arah. "Bentar ya, Bri. Kita tunggu satu orang lagi. Kamu istirahat aja dulu."
Brianda menaruh bokong di bangku besi. Cewek dengan perekam suara menggantung di leher dan buku catatan di tangan itu masih celingukan. Maka Brianda pun menunggunya seraya meluruskan kaki.
"Ah, itu dia!" sahut Naomi. "Zian! Di sini!"
Brianda menatap kedatangannya. Waw, decaknya sambil menelan ludah. Cowok berkostum klub karate itu kelihatan rapi dengan rambut menjulang ke atas, wajah berseri, dan bekas taburan bedak di pipinya.
"Mau ke mana, Bro?" ledek Brianda. "Jurnalis kita mau wawancarain atlet, bukan member boyband."
Zian tak menjawab, tapi Brianda tahu isyarat matanya. Sebuah tatapan yang menghantarkan sinar permusuhan.
"Kita mulai aja, ya," Naomi menahan perang fisik yang hendak terjadi. Ia mengajak dua narasumbernya duduk lalu menekan tombol recorder. "Sebelumnya, saya ucapkan terimakasih banyak kepada ketua karate dan taekwondo yang sudah menyempatkan waktunya," ia berujar formal. "Nah, untuk sesi ini saya mau tanya-tanya sama ketua klub taekwondo dulu."
Brianda tersenyum mengejek ke arah Zian. Dalam seringainya ia mengisyaratkan kalau taekwondo lebih diminati. Buktinya, Naomi ingin mewawancarai ketua taekwondo duluan.
"Apa sih, arti taekwondo buat kamu?"
"Taekwondo adalah kebutuhan. Tanpa taekwondo, gue nggak bakal ada di sekolah ini. Taekwondo juga bisa jadi sumber uang. Tiap kali ada lomba, gue selalu dapat dana."
Mendengar penjelasan Brianda, Zian langsung memberi senyum cibiran. Dasar matre!
"Pertanyaan selanjutnya. Sejak kapan kamu suka taekwondo?"
"Dari kecil gue emang suka berantem, makanya pas SMP ikut banyak klub bela diri. Salah satunya karate."
"Karate?"
"Nggak lama, sih. Satu bulan aja. Habis karate ngebosenin. Nggak kayak taekwondo."
"Next..." Naomi membuka catatannya. "Apa yang bikin kamu semangat dan malas kalau latihan?"
Sebelum menjawab, terlebih dahulu Brianda melirik Zian. Sejak tadi cowok itu tampak komat-kamit, mungkin mempersiapkan kata jika diberi pertanyaan yang sama. Dasar aneh! Begitu saja harus dipersiapkan.
"Yang bikin semangat? Umm, uang." Brianda nyengir, Naomi geleng-geleng kepala. "Yang bikin malas..." Ia memutar bola matanya. "Momen saat gue datang bulan."
"Datang bulan?!" tanya Naomi dan Zian bersamaan.
Brianda mengangguk. "Tiap datang bulan, mood gue nggak pernah baik. Rasanya malas banget kalau harus ke GOR dalam keadaan menstruasi."
"Tunggu, Bri. Apa kamu ngak salah bicara? Menstruasi? Datang bulan?"
"Heh, raja matre. Jawab pertanyaannnya yang serius, dong!" timpal Zian. "Gue juga harus diwawancara, nih."
"Memang jawabannya itu, kok."
"Mens itu cuma buat gadis. Dasar kampret lo! Udah matre, otak lo mesum juga!"
Brianda beringsut dengan marah. Tanpa ba-bi-bu, ia melayangkan kaki panjangnya ke muka Zian. Alhasil, cowok itu langsung terjungkal lintang pukang, bahkan hidungnya jontor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Underground Rascal
AçãoIngin hukum musuhmu tapi tak punya kekuatan? Jangan risau! Segeralah : 1. Buka website kami. 2. Tulis apa saja ulahnya. 3. Transfer dananya. 4. Nikmati kehancuran dia! Tertanda. Underground Rascal.