1. Panggil Saya "Theo"

2.6K 86 47
                                    


Ada beberapa bagian yang di hide di cerita ini. Untuk baca dengan lebih leluasa silahkan follow akun saya dan masukkan cerita ini ke library kamu. Tapi kalo masih belum bisa dibaca juga, log out wattpad lalu masuk lagi.

Selamat Membaca.

"Len, buruan masuk. Bentar lagi pelajaran kesukaan Lo." Dian berteriak dari depan pintu kelas, sembari melambai-lambaikan tangannya padaku. Meskipun dia berdiri diantara siswa lain yang berlalu lalang aku tetap bisa melihatnya lantaran dia termasuk cewek jangkung. Dan dari tatapannya aku tau dia sedang mengejekku. Sialan!

Susah payah aku menerobos lorong dengan orang-orang yang menghalangi jalanku, terutama para cowok karena tubuh mereka yang besar dan kalau jalan suka tidak lihat-lihat. Ini bisa saja dikategorikan sebagai penindasan, terutama bagi kami yang—sedikit-pendek-dan-sedikit-tak-terlihat-ini.

Kalau di jam tanganku, sekitar 5 menit lagi bel masuk untuk pelajaran selanjutnya berbunyi. Ingin rasanya aku berbalik badan dan melangkah menjauhi kelas, sekali-kali cabut kurasa tak akan sampai dipanggil guru BK. Hanya saja, untuk saat ini rasanya tak bisa. Kalau saja seperangkat mapel dan guru matematika bukanlah pengisi kelas selanjutnya maka tanpa berpikir dua kali aku pasi sudah tak ditemukan dimanapun. Tapi masalahnya... waktunya menghitung mundur ajal.

Haha, kidding.

Setelah selesai dengan rintangan lorong tadi, dengan gontai akupun melangkah masuk ke dalam kelas. Menyeret kaki dengan susah payah menuju tempat dudukku. Letaknya di baris ke dua dari belakang dan deret ke dua dari kanan. Posisi yang paling sempurna bagiku, baik untuk memperhatikan papan tulis maupun merajut benang mimpi.

Cewek jangkung dengan rambut panjang kuncir kuda yang duduk di sebelah kananku ini adalah Dian. Dia adalah temen paling edan yang pernah kutemui seumur hidup, dan tampaknya kini ia sedang menopang dagu sembari tersenyum lebar nan aneh ke arahku. Eh, gak ding, paling lagi modus liatin si Haris yang duduk di sebelah kiriku.

"Kenapa Lo Di? Sumpah senyuman Lo kayak cicak!" aku duduk di kursiku sambil meledakkan tawa.

"Asem Lo! Senyuman kayak Selena Gomez gini masa dibilang kayak cicak!" meski Dian tampak agak sewot toh dia juga ikutan terbahak.

"Selena Gomez kawe 100 kaliiiiiiiii" lagi-lagi aku tertawa, lalu beberapa detik kemudian bel masuk berbunyi.

Para siswa langsung berhamburan menuju kelas dan duduk di tempatnya masing-masing. Kini waktunya bagiku untuk menghitung detik kedatangan malaikat maut yang menjelma menjadi nenek lampir untuk menampakkan dirinya.

Tiga, dua, sat---

"Siang anak-anak,"

........

Selama beberapa detika lamanya aku tertegun.

Seharusnya yang masuk adalah nenek lampir berambut panjang dengan mata runcingnya yang tajam. Seharusnya sosok yang berdiri di depan memiliki suara yang nyaring dan memekikkan. Namun, 'seharusnya' dan 'seharusnya' itu sama sekali tak nampak dari seseorang di depan sana.

Rambutnya pendek. Ikal, tapi rapih. Kulit medium tone. Matanya berwarna hitam legam dan sangat tajam, menatapnya seolah-olah membuat dirimu tersedot ke dalamnya. Hidungnya pun mancung. Bibirnya tipis dan tegas. Tubuhnya berbentuk nacho dengan tinggi yang proporsional. Lalu satu lagi, dia cowok. Cowok super tampan bak lucifer yang tersandung dan sampai di bumi. Ketampanan dan kedalaman suaranya membuat semua orang--terutama kaum hawa--terhenyak, menahan nafas. Sampai mungkin, dada mereka sesak.

AlenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang