EC 01. Sebuah Penolakan

390 16 0
                                    

"Mas!" suara merdu yang sudah lama dikenali oleh Theo terdengar dari arah kamarnya. Tak lama kemudian seorang wanita muda, Alena, menampakkan diri. Alena sudah rapih dengan satu tas bermerk Gucci yang ia cangklongkan di pundak kirinya. Rambut panjangnya yang biasa ia kuncir kuda kini dibiarkan tergerai. Style yang kayak begini nih yang paling disukai oleh Theo, bisa meremajakan mata. "Nanti jangan lupa popok Rafa diganti ya kalau udah penuh. Trus kasih dia susu botol yang udah aku takar di meja makan, ntar airnya dirasa-rasa dulu, kira-kira sesuai suhu badan ya. Sama satu lagi, kalau Rafa tidur siang—"

"Di cek setengah jam sekali, kan? Iya sayang aku inget kok, kamu tenang aja." Theo lantas memotong ultimatum istrinya itu, dia melanjutkannya sendiri. Ini bukan kali pertama Alena meminta Theo menjaga anak sulung mereka yang masih berusia dua tahun, Rafael, ketika dirinya mendapatkan jatah libur dari rumah sakit tempat ia praktik. Sehingga Theo sudah hafal betul apa-apa yang harus ia lakukan untuk mengasuh Rafael.

"Kamu udah bilang sama mama kalo hari ini Rafa sama aku?" Theo yang sedang duduk memangku Rafael bertanya sambil menyingkirkan mobil mainan yang hampir dimakan oleh anaknya itu. Theo bertanya demikian karena biasanya kalau Theo pergi bekerja, dan Alena ada kelas di kampusnya maka Rafael akan dititipkan pada Ryanti, ibu kandung Alena.

Alena menepok jidatnya sendiri, "Ah iya, nanti aku telpon mama." Dia lantas berjalan cepat menuju pintu depan, mencari payung yang sebelumnya ia gantungkan di sebelah pintu masuk. Sementara Theo mengikutinya sambil menggendong Rafael di pangkuannya.

"Sayang, mama berangkat dulu ya. Kamu yang anteng sama papa ya..." Alena mencium kening dan kedua pipi Rafael yang tembem itu. Rasanya tiap melihatnya ia selalu ketagihan ingin mencubitnya karena gemas.

"Babababababa" Rafael hanya mengoceh sambil tersenyum lebar melihat Alena. Dipikirnya, mungkin Alena sedang mengajaknya bercanda.

Alena lalu mencium punggung tangan kanan Theo, yang langsung dibalas oleh kecupan dikening dari suaminya itu.

"Hati-hati di jalan ya..." Theo menasihati Alena.

Alenapun segera mengangguk. "Aku berangkat dulu ya Mas, Assalamualaikum..."

"Waalaikumsalam..."

Alena lalu menghilang di balik pintu.

Biasanya Theo lah yang mengantar istrinya itu sampai ke kampusnya. Namun khusus hari ini, Alena bilang bahwa dia akan berangkat bersama temannya. Kalau tidak salah namanya Gina. Seingat Theo, usia Gina berada dua tahun dibawah Alena, karena memang istrinya itu baru masuk perkuliahan setelah dua tahun menunda.

Setelah mengantar kepergian istrinya itu sampai depan pintu rumah, Theo lantas kembali ke ruang tengah, dia meletakkan Rafael di box bermain. Theo bersyukur anaknya itu tidak cengeng dan anteng dengan mainan-mainannya, sehingga tidak memerlukan cukup banyak tenaga untuk mengurusnya. Begitu melihat Rafael yang sudah anteng lagi dengan bola-bola plastik dihadapannya, Theo segera berbaring di sofa yang letaknya bersebelahan dengan box bermain Rafael. Semalam ia baru selesai jaga pukul dua, dan badannya masih pegal-pegal sampai saat ini. Kalau ngantuk jangan ditanya lagi.

Sambil memperhatikan Rafael yang rasanya tidak akan pernah bosan ia lihat, Theopun mulai berpikir. Ternyata waktu cepat sekali berlalu. Tahu-tahu ia sudah punya anak sebesar Rafael. Rasanya baru hari kemarin dia melepas status lajangnya. Rasa-rasanya juga baru kemarin ia bertemu dengan istrinya, Alena. Kalau diingat-ingat lagi rasanya jadi nostalgia. Bahkan Theo jadi tersenyum sendiri kala ia mengingat bagaimana dulu pertama kali ia bertemu dengan istrinya.


*****


"Mbak, ini seriusan aku harus nikah sama anak SMA?" Theo menatap sangsi ke arah Carissa. Dia masih tidak percaya bahwa cewek berseragam putih abu-abu di foto yang ia pegang adalah calon istrinya.

"Tahun depan udah bukan anak SMA lagi kok." Sementara Carissa menanggapinya dengan tenang. Ia masih menyeduh dua cangkir teh hangat untuk disajikan kepada adiknya dan suaminya yang sibuk bermain dengan anak mereka, Zain.

"Ya Mbak, masa dia gak punya kakak kek, yang udah lulus kek, jangan masih SMA juga kali. Atau, gak ada cewek lain apa yang bisa disodorin ke aku." Theo mendengus, masih menatap frustasi ke arah foto yang ia lihat di depannya. Bukan penampilan yang Theo permasalahkan. Faktanya, cewek di foto itu, Sylvia Alena, memang masih masuk ke dalam tipenya. Akan tetapi, fakta lain bahwa dia masih sekolah juga membuat Theo rungsing sendiri. Nikah sama bocah? Yakali!

Carissa yang sudah selesai menyeduh teh segera menyuguhkannya. Pertama ia meletakkan satu cangkir di meja makan, tempat dimana Theo sedang duduk frustasi sambil memegangi secarik foto. Kemudian Carissa menghampiri Hans dan meletakkan cangkir teh miliknya di atas nakas. Sengaja di tempat yang tidak bisa dijangkau oleh Zain.

Setelah itu Carissa kembali menghampiri adiknya, dan duduk dihadapan adiknya itu. "Salah kamu kenapa gak pernah bawa cewek ke ibu, makanya ibu mikir kamu tuh jones dan jadi kasihan. Kalau berani tolak mah silahkan, Mbak gak akan protes. Tapi masalahnya, kamu berani gak bilang ke ibu sekarang?"

Theo terpaksa menelan ludahnya sendiri. Carissa benar, Theo tidak punya nyali untuk menolak keinginan ibunya sekarang. Salahnya sendiri kenapa tidak pernah membawa salah satu kenalan perempuannya untuk dikenalkan pada ibu. Salahnya sendiri juga kenapa dulu dia asal mengiyakan tawaran ibunya untuk dijodohkan, dulu dia berpikir bahwa ibunya sedang bercanda. Protes kepada ibunya sekarang sudah sangatlah terlambat. Ibunya sudah kepalang senang. Theo takut kalau kesenangan ibunya itu dihancurkan olehnya, kondisi sang ibu akan lebih memburuk. Sebagaimanapun Theo menolak perjodohan itu, ia lebih menolak kalau harus melihat kondisi ibunya yang semakin parah.

"Udah kamu sekarang tenang aja, Theo. Lagian kan kalian baru resmi jadi suami istri tahun depan kan?"

Theo menghela napas sejenak, lalu dengan lemah mengangguk. Carissa benar, pernikahan mereka baru akan dilangsungkan tahun depan, ketika Sylvia Alena lulus dari sekolahnya. Masih ada lumayan banyak waktu yang tersisa untuknya melajang. Selain itu, kalau tahun depan berarti dia tidak perlu lagi mengkhawatirkan status calon istrinya, karena sudah bukan lagi siswa SMA. Lagi, kalau tahun depan setidaknya dia masih bisa bebas dari kekangan manapun.

Hanya saja, tanpa Theo ketahui, semesta justru menulis ulang takdirnya. Kondisi ibunya yang semakin memburuk membuat Theo harus menikahi gadis bernama Sylvia Alena pada tahun itu juga, ketika sang gadis masih duduk di bangku 3 SMA. Dalam seketika, semua kekhawatiran Theo malah terjadi pada tahun itu juga.


Halo halo, part ini gue reupload gara-gara ada error tiba-tiba kehapus pas maintenance wattpad kemaren-kemaren.

AlenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang