7. Speechless

467 35 1
                                    


"Alena, kalau kamu masih gak fokus, berdiri sana di belakang!" guru biologi itu melirik tajam ke arahku untuk yang kesekian kalinya. Lagi-lagi aku harus segera menegakkan posisi dudukku, dan bersikap seolah fokus memperhatikan pelajaran yang diterangkan di papan tulis itu.

Belakangan ini aku sama sekali tidak bisa fokus pada pelajaran. Kata-kata Bagas tempo hari itu rasanya terus terngiang-ngiang di telingaku. Aku jadi memikirkan banyak hal karenanya. Sejauh ini aku bisa menarik satu kesimpulan, kesimpulan yang sangat ingin kubuang jauh-jauh.

"Len, Lo jadi sering ngelamun gitu sih." Dian berbicara padaku ketika mata pelajaran biologi berakhir. Dari caranya memandangku itu aku tau kalau dia khawatir. "Ada pikiran ya Len? Cerita aja sih sama gue."

Tentu saja aku sangat menghargai simpati darinya, tapi aku tak mungkin menceritakan kisah panjang-membingungkan-ini padanya. Bukannya aku tak mempercayainya atau apa, tapi aku sendiri bingung bagaimana memberitahunya, terlebih dengan hype-theoisme yang diidapnya.

"Eh iya tah? Gue biasa aja kok, bener deh. Haha, jangan lebay deh Di..." aku mengelak dengan tawa yang dipaksakan terlihat natural.

Dian mendesah pelan. "Ngomong-ngomong rangkuman yang waktu itu gue bilang udah jadi? Batas pengumpulannya hari ini, loh..."

"Mampus! Gue lupa bawa!" tanpa memikirkan barang-barangku—karena seharusnya aku membereskan mereka semua untuk dibawa pulang—akupun segera melesat keluar. Berlari menyelip diantara lalu-lalang siswa yang hendak pulang ke asrama. "Gue mau ambil dulu, Lo pulang aja Di!!"

Dian bercerita padaku beberapa hari yang lalu, sewaktu aku dan Bagas membolos, pelajaran matematika yang sebenarnya aku hindari malah berlangsung tidak efektif. Ketika itu Theo hanya masuk ke dalam kelas, mengabsen kehadiran, memberikan tugas, kemudian bilang ingin keluar untuk ke kamar mandi dan tidak pernah kembali bahkan sampai jam pelajaran berakhir (aku kira dia tewas di kamar mandi, tapi begitu melihat dia masih sehat di keesokan harinya maka terbantahlah analisisku ini). Dian juga mengatakan bahwa tingkahnya sedikit aneh waktu itu—meski dari awal aku memang sadar betul kalau dia pria aneh. Dan di akhir cerita Dian menambahkan bahwa tugas yang diberikan oleh Theo harus dikumpulkan paling lambat hari ini dan nilainya akan masuk ke dalam akumulasi rapot.

Sejujurnya mengerjakan yang namanya tugas adalah salah satu hal yang paling membuatku malas. Tapi atas bebeapa dorongan, kali ini aku malah bertekad untuk menyelesaikannya dengan benar. Salah satu tekadku ketika aku mengumpulakn tugas ini nanti adalah meminta maaf kepada Theo atas semua hal jahat yang kukatakan padanya. Well, berkat perkataan Bagas tempo hari aku jadi tersadar bahwa aku harus memperbaiki diriku sendiri, serta memperbaiki segala kekeliruanku.

Bahkan tadi malam ketika Dian sudah tidur, aku sempat latihan bagaimana cara untuk berbicara pada Theo di depan cermin!

"Alena!"

Kini tugas itu sudah ada di tanganku. Gerabng sekolahpu beberapa meter lagi sudah akan kulewati. Mungkin jika aku mempercepat lariku sesuai dengan percepatan rumus GLBB yang beberapa hari lalu dibahas di fisika maka aku akan sampai di kantornya dengan sangat cepat. Namun langkah itu terpaksa kuhentikan ketika seseorang memanggil namaku.

Segera saja pandanganku menyisir ke segala arah demi mencari sumber dari suara itu. Pandangaku barulah berhenti ketika mendapati seorang wanita berparas ayu yang melambai ke arahku. Butuh beberapa detik sampai aku tersadar bahwa aku mengenali wanita itu.

Dia mengenakan dress selutut berwarna peach, sehingga kakinya yang putih dan jenjang tampak elok dilihat. Rambutnya yang panjang, bergelombang dan berwarna coklat tua hasil cat itu dibiarkan terurai di punggungnya. Matanya sedikit sayu namun itulah yang membuat dia tampak menawam. Kalau dulu aku pernah bilang bahwa Theo tampak seperti Lucifer yang tersandung dari singgasananya, maka wanita itu bak bidadari yang jatuh karena parfum axe.

AlenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang