5. Di Bawah Naungan Payung yang Sama

553 49 23
                                    


Aku melangkahkan kakiku dengan berat ke dalam ruangan Pria itu. Pintu di belakangku telah tertutup rapat dan sepertinya Theo baru saja menyadari kehadiranku disini. "Anu, maaf Pak. Saya mau minta soal remedial..." aku mendekat dengan sedikit segan.

Theo masih duduk di kursinya, kini dia melihatku dengan sudut alis yang terangkat. Tatapan itu seperti intimidasi yang nyata bagiku.

"Soal remedial Pak..." aku mengulang kata-kataku.

Theo kemudian membuka laci mejanya dan mencari-cari sesuatu, dan tak lama kemudian dia mengeluarkan secarik kertas dan menaruhnya di menjanya. "Nih, kerjainnya disini aja." Dia lalu menunjuk ke arah bangku yang ada di sudut ruangan untuk kupakai, tentunya meja yang dia maksud adalah meja yang sama dengannya. Aku harus mengerjakan soal-soal ini dihadapannya.

"Oh, iya..." akupun menurutinya dan mulai mengerjakan soal yang berjumlah 5 itu dengan susah payah. Sementara Theo mulai sibuk dengan laptop yang baru saja ia nyalakan.

Awalnya kupikir persiapanku sudah sangat matang untuk mengerjakan soal-soal ini, tapi nyatanya aku kesusahan bahkan untuk mengerjakan nomer satu—nomer yang selalu dielu-elukan memiliki tingkat kemudahan yang tinggi. Masalah yang terbesar sebenarnya karena aku tidak bisa fokus. Pikiranku bubar kemana-mana, selain karena tidak tahan untuk melirik wajah tampan di hadapanku—bagaimanapun aku tidak menafikkan kalau Theo ini tampangnya ok banget—aku juga tidak tahan untuk tidak berpikir macam-macam tentang pembicaraan Theo dengan Miss Naida. Seberapapun aku menepisnya, aku tetap saja mengakui kalau aku penasaran.

Sekitar dua puluh menit lebih akhirnya aku selesai mengerjakan soal-soal itu dalam diam, padahal aku sudah memikirkan banyak hal untuk kutanyakan tapi mulutku tetap tak mau terbuka. "Ini Pak, udah selesai..." aku menyodorkan kertasku, membuat Theo menghentikan tarian jarinya di atas keyboard.

Dahinya berkerut seperti biasa. "Kalo gak ada siapa-siapa jangan formal gitu kenapa sih. Rasanya kayak gue tuh bapak Lo tau gak..." dia kemudian mengambil kertas itu dan mulai memeriksanya.

"Muka Lo udah keriput sih..." aku tertawa, teganya dia tidak menggubrisku. Ini malah terdengar garing.

Kulihat dia cukup serius menatap kertasku. Matanya yang tajam itu melihat kertasku seakan-akan sedang membaca pikiranku ketika aku menorehkan tinta diatasnya. Sesekali sudut bibirnya terangkat, entah maksudnya apa.

"Lo cuma bisa ngerjain dua dari lima, dalam kurun waktu... hampir setengah jam." Suaranya terdengar serius dan begitu mengintimidasi. "Ini, Lo gak serius ya? Belajar gak sih?" Theo mengerutkan dahinya sambil menatapku penuh selidik. Kadang aku takut pada mata itu, seperti komputer yang bisa men-scan­ pikiran orang lain.

"Ya belajar lah! Lo aja yang tega ngasih gue soal susah banget gitu."

Theo menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ampun deh... Gimana nanti UTS kalau gini aja gak bisa. Itu udah soal paling gampang loh." Bukannya menolong atau apa, dia malah tersenyum sinis padaku. Sial. "Heran gue kenapa bisa Lo naik kelas selama ini."

Terkadang orang pintar memang tidak peka kalau dirinya sedang merendahkan orang lain, menyebalkan. "Kenapa sih Lo tuh mikirnya negatif mulu ke gue?! Liat aja nanti nilai UTS gue pasti bagus! Ini sih gue main-main doing ngerjainnya, liat nanti UTS gue bakal serius!" aku menyilangkan tangan di depan dadaku setelah selesai dengan bentakan yang sepertinya tidak begitu dihiraukan oleh orang dihadapanku ini.

"Iya, iya..." lihat, dia malah kembali fokus pada pekerjaannya.

Aku mendesah sebal.

"Makanya belajar tuh yang rajin." Disela-sela kesibukannya dia menasehatiku, meski tanpa melihatku sama sekali.

AlenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang