23. Bisakah?

351 28 3
                                    

Sudah dua hari aku tidak masuk ke sekolah. Aku terkena demam, meski tidak tinggi namun migrain kepalaku terasa sangat sakit sekali. Sengaja aku pindah ke ruang kesehatan dan beristirahat disana. Sesekali pengasuh asrama merawatku dan memberiku obat sebelum aku kembali terlelap dan menemukan mimpi yang terkadang menyiksaku. Hingga terkadang, untuk tidurpun aku segan.

Padahal sudah beberapa minggu sejak terakhir aku pulang dari apartemen Theo. Selama itu aku berusaha tegar, mencoba bersikap tenang dan biasa, terus berpikir positif bahwa kata-kata yang terakhir kali kudengar darinya adalah jebakan april fool day. Hanya saja, dalam beberapa minggu itu, setiap kali melihatnya berdiri di depan kelas, dengan tatapan seolah-olah tidak terjadi apapun, dan tidak lagi memberiku atensi khusus, rasanya hatiku sakit. Seketika itu juga aku ingin menamparnya berkali-kali.

"Len..." seseorang menyibakkan tirai yang menyekat antara deretan tempat tidur di ruang kesehatan ini. Di balik tirai itu kulihat Dian berdiri dengan kaos tosca kesayangannya. "Titipan dari Bagas." Gadis dengan rambut panjang yang dicepol tinggi itu segera mendekati nakas dan meninggalkan selembar amplop putih sebelum pergi.

Terlalu lama saling mendiami dan menjaga jarak ternyata membuat aku dan Dian jadi orang asing. Aku sudah tidak peduli lagi padanya, begitupula sebaliknya. Seakan-akan kami mengganggap satu sama lain tidak lebih dari 'orang lewat'.

Aku meraih amplop putih itu. Dari Bagas, katanya.

Untuk Lena.

Apa kabar Len? Udah ngerasa baikan?

Gue tadinya mau jenguk, tapi sampe sekarang belom nemu gimana caranya masuk ke asrama cewek. Hahaha. Jadi gue nulis ini, karena khawatir sama Lo. Sama sekalian gue mau minta maaf Len, well, tadinya gak akan lewat surat sih, tapi gue semakin gak enak sama Lo. Gue mau minta maaf gara-gara belakangan ini malah ngejauh, shock, iya. Tapi kan emang gue nya aja yang salah pake segala ngarep.

Intinya, kita bisa kan tetep temenan?

Salam,

Bagas.

Setelah membaca isi surat itu aku tidak bisa menahan tawa geliku. Belakangan ini Bagas memang terlihat menghindariku, aku maklum, tapi ngasih surat kayak gini norak banget gak sih. Sampai-sampai aku bisa menangis karena tertawa, ditambah migrain semakin parah karena tertawa.

Bukan berarti aku tidak menghargai usahanya ini, justru aku terharu. Bahkan aku sudah terharu begitu membaca kalimat kedua. Selama dua hari sakit hanya ibu pengasuh saja yang menawariku kabar. Belum ada satupun teman kelas maupun teman seasrama yang datang menjengukku. Lupa, mungkin?

Aku masukkan surat itu kembali pada amplopnya. Lalu meletakannya dengan hati-hati di atas nakas. Perhatian kecil ini saja sudah membuatku lega sekali. Barangkali, setidaknya masih ada orang-orang yang memperhatikanku. Jadi untuk apa aku sedih berlarut-larut karena orang-orang yang sudah tidak peduli lagi?

Dengan pemikiran seperti itu mungkin dapat menghibur diriku sendiri. Meski aku sadar, sebenarnya masalahnya tidak sesederhana itu.

*****

"Bagas!" Setelah akhirnya aku kembali masuk ke sekolah, orang yang pertama ingin kutemui adalah Bagas.

Ketika aku menemukannya, dia sedang berdiri di depan mading sekolah sambil menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. Kepalanya segera menoleh ketika namanya kupanggil. Sebuah senyuman merekah di wajahnya.

"Udah baikan?" suaranya yang lembut itu terdengar enak di telingaku.

"Iya nih, thanks suratnya kemaren mujarab, bikin gue cepet sembuh." Aku tertawa ringan, dan segera menular padanya.

AlenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang