26. Dan Kisah Ini Dimulai

543 31 7
                                    

"Gimana Len?" suara cemas Dian terdengar di sampingku. Dia masih duduk dengan posisi tegang sambil memegangi sandaran kursiku. Jangan tanya aku, punggungku sudah tegang dari saat aku menduduki kursi ini. Bahkan tanganku gemetaran pada saat menyalakan komputer dihadapanku.

Sudah sejak beberapa saat yang lalu kami berdua tegang di hadapan komputer pribadi di kamar kami. Meski kutau keteganganku lebih tinggi daripada Dian, pasalnya, saat ini kami sedang berusaha mengakses situs pengumuman kelulusan SBMPTN, sementara sudah hampir satu jam tapi aku belum bisa mengaksesnya. Ketagangan yang dirasakan Dian hanya bentuk lain dari rasa simpati dan peduli padaku, karena dirinya sudah diterima di salah satu universitas ternama di yogyakarta ketika pengumuman SNMPTN beberapa minggu yang lalu. Jangan tanya bagaimana hasil SNMPTN ku, kalau berhasil pasti aku tidak usah tegang lagi saat ini.

Rasanya keringat dinginku sudah mulai bercucuran ketika akhirnya website itu berhasil kuakses. Ketika mengisi nomor peserta di laman log in tanganku masih bergetar tak karuan. Beberapa kali aku salah mengetik nomor dan harus kuhapus dan kutulis ulang.

Hingga akhirnya aku berhasil masuk, dan melihat hasilnya.

Jantungku serasa dipompa dua kali lebih cepat. Rasanya sesak sekali, sampai membuatku lemas.

Ditolak.

Aku menghembuskan napas keras-keras. Sudah lama aku merasa hal ini akan terjadi. Bahkan setelah selesai mengerjakan soal SBMPTN saja kepercayaan diriku sudah jatuh sekali. Memang aku masih berharap doa yang kencang siapa tau bisa membuahkan kejutan besar. Tapi apa daya, mungkin memang belum jodoh.

Dian menepuk pundakku. Lalu dia memelukku erat sambil berbisik. "Masih ada ujian mandiri kok Len, jangan sedih ya." Siratan emosi dari ucapannya membuatku merasa tenang.

Sambil mengangguk aku malah tertawa, sumbang memang, tapi aku tidak ingin suasana yang sedih seperti ini berlarut-larut. "Haha gak apa-apa Di. Gue mah slow aja. Lagian, kayaknya tahun ini gue gak akan kuliah dulu deh. Gue mau fokus lahiran sama besarin dedek ganteng ini." Aku mengelus perutku yang belakangan rasanya sering di tendang-tendang dari dalam.

"Kayaknya ya Di, selain emang takdir gue harus ngurus anak dulu, ini karma deh, gara-gara gue gak berbakti sama suami. Soalnya pas SNM sama SBM kemaren gue gak ikutin saran Theo."

Seketika Dian melepas pelukannya, dia lalu memukul kedua pipiku dengan kedua tangannya, kemudian menangkup wajahku. "Nggak Len. Bukan karma. Emang belum jodoh aja. Denger ya, Lo bukan istri pembangkang, tapi suami Lo nya aja yang pantes dibangkangin."

Aku lalu mengangguk.

"Yup, nanti setelah kuliah, kalo liburan gue pasti datang ke tempat Lo kok. Gue udah gak sabar pengen liat ponakan gue yang ganteng ini!" Dian lalu beralih menatap perutku. "Btw, Lo udah ada rencana mau kasih nama siapa?"

Tersenyum simpul, aku menjawab. "Rafael."

*****

Event terakhir yang selalu ditunggu siswa serta ajang paling bikin deg-deg an parah adalah saat acara wisuda. Terlalu banyak emosi yang bercampur aduk menjadi satu. Perpaduan antara senang, gembira, sedih, haru, sebal karena malah hujan deras, dan lain sebagainya. Tapi di atas itu, semuanya menampilkan ekspresi paling bahagia yang pernah kulihat.

Mungkin kecuali Icha, yang sedari pagi sesenggukan dan ingusnya kemana-mana gara-gara make up yang ia poles habis-habisan dalam waktu lama lenyap seketika terkena guyuran hujan. Karena tadi pagi, hujan secara tiba-tiba turun. Untung saja tidak dibarengi oleh kilatan dan petir, kalau sampai terjadi, bye acara wisuda gue gak akan keluar dari kamar.

AlenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang