8. Menemukanmu

520 38 12
                                    



Aku harus benar-benar berterimakasih pada Pak Hagi, karenanya aku terbebas dari situasi buset-gue-harus-ngapain­ tadi. Meski detak jantungku tetap tidak beraturan dan sangat berisik, tapi kubiarkan jadi angin lalu sembari melenggang menuju gedung minat.

Dan tugasku, ah lupakan saja...

Jadi, di sekolah kami ruang ekskul memiliki gedung khususnya sendiri. Kami biasa menyebutnya gedung minat. Tadinya gedung ini adalah gedung utama, namun setelah gedung baru dibuat, akhirnya gedung ini beralih fungsi menjadi gedung khusus untuk kegiatan ekstrakulikuler. Gedungnya sudah agak tua karena termasuk salah satu bangunan yang paling lama berdiri selain asrama. Uniknya, entah untuk tujuan apa, gedung ini dibangun dengan begitu banyak lorong di dalamnya.

Ruang milik Pak Hagi di gedung minat, pasti ruangan ekskul kepenulisan. Aku pernah ke tempat itu satu kali kalau tidak salah. Semoga saja aku masih ingat.

Seperti yang kubilang tadi, gedung ini dipenuhi oleh lorong. Begitu aku masuk saja sudah ada beberapa lorong yang tampak di depanku. Mungkin karena sudah waktunya jam pulang dan hari inipun bukan hari ekskul makanya tempat ini jadi sepi. Hanya ada satu-dua orang yang lewat secara terburu-buru, mungkin kebelet. Kalau saja hari sudah semakin gelap, tempat ini pasti terkesan horror.

Aku melangkahkan kakiku menuju salah satu lorong itu. Terkadang aku benci dengan kakiku yang pendek ini—meski keseluruhan aku memang pendek astaga—karenanya langkahku tak pernah lebih lebar. Meski langkahku cepat, tapi jadi sangat melelahkan.

Bahkan rasanya sekarang aku menghadapi perjalanan yang terasa begitu panjang.

Lima menit berlalu.

Kemudian sepuluh menit.

Lalu tiga belas menit lebih dua puluh tujuh detik.

...

Aku bahkan tidak menemukan petunjuk dimana ruang kepenulisan itu. Kurasa sekarang aku tersesat. Selain karena kutukan kependekan ini, tidak bisa disanggah pula kalau aku memang tak terbiasa dengan gedung ini. Well, aku menyesal karena dulu selalu membolos kegiatan ekskul, bahkan sejak bangku kelas satu!

Tersesat seperti ini semacam mimpi buruk di siang—ralat, di sore bolong ini.

Pukul lima lebih empat puluh tiga detik, tertera di jam digitalku. Langit di seberang jendela tampak begitu gelap ketika akhirnya aku menemukan ruangan itu. Rasa lega membuncah dalam diriku. Segeralah aku membuka pintunya dan mendekat ke arah meja untuk—tentu saja menaruh gulungan kertas ini disana.

Aku menghela napas lega. Setelah ini aku akan balik ke kamarku dengan tenang—

OH TIDAK.

Buku berisi tugas yang seharusnya kukumpulkan masih tetap kupegang di tangan kiriku. Sudah sangat terlambat untuk mengumpulkannya sekarang, bahkan mungkin Theo akan menolaknya mentah-mentah. Dan hal inipun berarti rencana minta maafku telah gagal.

Kali ini aku menghela napas berat.

Yasudahlah, sekarang aku kembali saja ke asrama. Memikirkan cara lain mungkin jadi jalan yang terbaik untuk saat ini.

Begitulah pikirku.

Namun ketika aku baru mau membalikkan badan tiba-tiba suara sambaran petir terdengar begitu keras. Saking kagetnya tubuhku refleks melompat mundur dan menabrak pintu ruangan itu sampai pintunya tertutup dengan suara yang tak kalah keras.

Aku langsung teringat dengan pesan Pak Hagi mengenai pintu itu, jadi segera saja aku mencoba untuk membuka pintunya. Namun nihil, pintunya sama sekali tak mau bekerja sama.

AlenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang