2. Bioskop dan Kelemahannya

911 59 5
                                    


Minggu yang cerah, hari libur yang sempurna. Seharusnya begitu, tapi tidak untukku. Dalam satu minggu ini sudah dua kali aku dipertemukan dengan mata pelajran matematika. Sejauh ini, aku tidak akan kaget kalau ternyata Theo sudah men-cap ­­diriku sebagai cewek lemah angka. Beberapa kali aku ditunjuk untuk mengerjakan soal di depan kelas, tapi hasilnya tak pernah ada yang benar meski aku berusaha mengerjakannya dengan susah payah. Ada beberapa faktor memang, pertama karena memang aku benci dengan rumus-rumus sialan itu, lalu kedua karena aku tidak bisa fokus sementara Theo dengan mata runcingnya terus-menerus menatap tajam kearahku seakan aku ini domba idul adha yang akan dikuliti. Hih.

Jadi ceritanya hari yang seharusnya menjadi hari libur sempurna ini malah harus kuhabiskan dengan mengikuti kelas tambahan matematika. Tentu saja bukan aku sendiri yang ikut, ogah amat kalau harus belajar berdua sama si Theo. Masih banyak siswa lainnya yang bernasib buruk sepertiku, meski aku yakin mereka tidak benar-benar menganggapnya sebagai nasib buruk. Yah, terimakasih pada guru muka dua yang telah berhasil membuat para siswa yang dari dulunya gak pernah punya riwayat seneng-ikut-tambahan-belajar jadi sangat menantikan aktivitas itu.

Aku jadi merasa kasihan sendiri pada mereka.

"Lenaaaa! Wooy! Mau sampai kapan Lo ngebatu di kasur? Sepuluh menit lagi kelas tambahan Lo dimulai tuh!" Dian mengingatkanku akan malapetaka hari minggu ini, membuatku sebal, dan tingkat kesebalan itu makin bertambah ketika melihat cewek ponytail yang mengusik ketenanganku itu malah asik bersantai di depan komputer, demi membuka segala akun media sosial yang dimiliknya. Meski aku juga tidak akan menghakiminya karena toh dia memang tak ikut kelas tambahan. Meski suka aneh-aneh, Dian ini otaknya sedikit lebih encer daripada punyaku.

"Buruan Len! Sekalian ntar Lo cari info siapa tau Pak Theo punya akun sosmed!" Dian menambahkan dengan antusias.

Bukannya malah menggetarkan hatiku, kata-katanya malah semakin membuatku hilang selera untuk beranjak dari kasur empuk ini. Jangankan beranjak, bergerak dari posisi mendekap guling ini saja tak sudi kulakukan. Terlalu... "—Mager ah."

Jadi begini, kami berdua tinggal di kamar yang sama selama 3 tahun ini, kamar blok dandelion nomor 24. Entah karena nasib baik atau sebaliknya, selama 3 tahun ini aku selalu mendapatkan kamar yang sama dengan Dian. Lantaran satu kamar hanya berisi dua orang saja sehingga tak jarang kami dijuluki sebagai 'roommate abadi'.

Kamar ini tidak terlalu kecil tapi juga tidak cukup luas, ukurannya sekitar 3 x 4 meter dengan fasilitas sebuah ranjang tingkat beserta kasurnya, dua buah lemari, lalu satu meja belajar plus seperangkat komputer. Kami memang tidak diperbolehkan membawa alat komunikasi, tapi fasilitas komputer ini sudah sangat cukup bagiku.

"Eh Len, jangan lupa bawa kamera." Dian yang sempat terpaku pada monitor di hadapannya kini memutar kursinya hingga sepenuhnya menatapku.

"Buat?"

"Buat fotoin Pak Theo yang ganteng itu lah!"

"Ih ogah, ngabis-ngabisin memori aja."

"Demi makhluk tuhan yang paling seksi, Len! Gue rela deh beli memori kamera yang banyak." Dian kembali memutar kursinya dan menghadap monitor. Sepertinya dia lelah berbicara denganku yang tidak memberikan respon positif ini.

Aku terdiam menatap Dian yang entah untuk apa memasang wajah serius seperti itu. Ada rasa khawatir dalam diriku perihal obsesinya itu.

"Eh Lo tuh seriusan suka sama Pak Theo?" masih sambil memeluk guling, aku bangkit dan duduk di tepi ranjang. Pertanyaan itupun langsung diiyakan oleh Dian dengan nada yang sangat antusias. "Tapi... Lo denger kan kalo kemaren bapaknya bilang dia udah—"

AlenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang