14. Kenapa Aku Senang?

473 35 4
                                    

Kegiatan belajar-mengajar-privat itu berlangsung secara rutin setiap minggunya. Aku tidak pernah bolos—lebih tepatnya Theo tidak pernah membiarkanku bolos. Tapi aku besyukur karena menurutinya selama ini, percaya atau tidak, aku tidak pernah lagi terjerembab pada lubang remedial matematika—meskipun nilainya pas-pasan. Well, tapi yang 'pas-pasan' itu tetap saja membuatku senang tak terkira.

"Nilai gue delapan Di! Liat ini angka delapan! De-la-pan!" aku memamerkan angka delapan yang tertera di LJK-ku kepada Dian. Aku tidak peduli meskipun Dian tampak bosan karena aku sudah berkali-kali mengatakannya. "Gue yang dungu angka, Di! Liat ini liaaaat!!"

"Iya Lena iyaaaaaaaaaaaaaaa" mungkin telinganya pegal karena suaraku, biarin aja.

"Hehe, gue seneng banget Di." Meskipun Dian menatapku dengan raut sepet, aku tetap balik menatapnya dengan senyuman lebar.

"Lo pake pelet ya kan? Ke dukun mana sih Lo?"

"Kampret emang! Ini hasil gue sendiri!"

Dian tertawa sampai matanya berair. "Iya iya, udah ah Lo udah beribu kali nunjukin itu ke gue. Bosen sumpah!" akhirnya dia berterus terang. "Tunjukinnya ke yang lain gih. Ke si Bagas tuh,"

Aku hanya bisa mengerut dahi begitu Dian mengerjap aneh setelah mengatakan kata-kata terakhirnya. Lagi-lagi, sepertinya Dian sudah salah paham.

Tapi biarlah, setidaknya gossip menyukai seorang teman kelas lebih baik daripada mendapatkan gossip menyukai seorang guru. Fakta sih, eh?

Ngomong-ngomong hari ini adalah hari sabtu. Dulu aku rajin sekali berdoa agar Hari Sabtu dan Minggu tak usah datang sekalian, bagiku bertemu Theo di akhir pecan sudah menjadi kiamat kecil-kecilan. Namun lama-kelamaan phobia itu memudar, gilanya—entah sejak kapan—akhir pecan malah menjadi hari yang kutunggu-tunggu.

Banyak sih dampak positifnya, selain nilai akademikku yang berangsur-angsur naik, tingkat 'kedekatan' hubunganku dengan Theo pun mulai membaik. Dia sudah jarang sekali membentakku, nada suaranya juga tidak kasar lagi, alhasil jumlah acara 'sewot-sewotan' diantara kamipun mulai mengurang. Dia lebih sering berbicara santai dan kadang bercanda. Tentu saja aku senang dengan perubahan sikapnya kepadaku, tapi terkadang beberapa pertanyaan muncul seperti; apa dia sedang berakting?


KREK...

"Theo? Gue masuk ya..."

Hari ini aku datang ke apartemennya, di waktu yang sama setiap minggunya, sekitar pukul setengah satu. Sabtu lalu Theo memberiku kunci cadangan di apartemennya, karena beberapa kali aku sempat menunggu lama di depan pintu karena dia belum pulang.

Tak ada yang menjawab, meski begitu aku tetap menerobos masuk setelah menutup pintunya kembali. Melewati dapur, mendekati pintu kamar lalu mengintip dari celah. Ternyata pemilik apartemen ini ada di dalam sana. Aku dapat melihat dengan jelas punggungnya yang dilapisi kaos polo warna merah pudar. Dia berdiri memunggungiku, tentu saja, di saat yang sama ketika aku sampai, dia pasti sedang menghadap kiblat dengan sarung birunya. Entah dimulai dari kapan, aku sangat suka menatap punggungnya dari sini.

Tentu saja sebelum sholatnya berakhir aku segera beranjak ke sofa dan berpura-pura sibuk dengan diriku sendiri. Tertangkap basah mengintip kan gak oke banget.

Begitu keluar dari kamarnya, Theo menatapku sekilas lalu beranjak ke arah dapur mininya. Rutinitas lain yang ia lakukan sebelum memulai les ini adalah memasak untuk dirinya sendiri. Terkadang aku tak tega karena yang dia masak hampir mie instan setiap sabtunya.

"Mie instan lagi?" aku bertanya, mungkin untuk yang ke-seribu kalinya. Lebay ding.

"Kenapa emang?" dia malah balik bertanya, nemun matanya tetap fokus pada panci yang berisi air di hadapannya.

AlenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang