9. Astaga....!

581 37 5
                                    

Langkah kakiku harus ekstra hati-hati agar tidak tercelup di genangan yang dalam. Sesekali aku mengangkat wajahku ke depan, memastikan bahwa punggung itu tidak tertelan oleh kegelapan malam. Sulit memang, dan beberapa kali kakiku bahkan sudah tenggelam dalam kubangan coklat di aspal yang rusak, tapi dengan hanya melihat bahwa sosok di depanku tetap ada disana membuatku lebih tenang.

Jalanan sedikit remang karena lampu yang ada sepertinya hampir mau mati, meski begitu aku bisa melihat ada sebuah sedan hitam yang terparkir di tepi jalan aspal. Menurut majalah mobil milik Haris yang tidak sengaja kubaca beberapa hari yang lalu sedan itu adalah Honda Accord VTi-L yang muncul tahun 2015. Tidak salah lagi, itu mobil milik Theo yang waktu itu kulihat.

Theo berhenti tepat di samping mobil itu, dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan kunci mobil itu. "Masuk Len, gue anterin sampe depan asrama cewek." Terlebih dahulu dia masuk dan duduk di belakang stir.

Aku sendiri menurut dan bergerak menuju pintu yang berada di seberangnya. Masuk lewat sana dengan hati-hati.

Mobil dinyalakan, menimbulkan suara mesin yang bergema di dalam. Sebelum Theo memindahkan persnelingnya dia mengambil jaket di jok belakang dan melemparnya padaku. "Lo kedinginan kan," akhirnya memindahkan persneling lalu menginjak gas perlahan.

Sementara dia sibuk mengemudi aku mendekap erat jaket itu dan tidak memakainya. Beberapa kali kulirik Theo dan aku sadar betul bahwa yang lebih membutuhkan jaket ini bukan aku tapi dirinya. Meski aku kedinginan tapi tubuhku masih kering. Tidak seperti dirinya yang seperti baru saja tenggelam. "Lo aja nih yang pake." Aku menyodorkan jaket itu kembali.

Theo menoleh sebentar dengan alis yang terangkat, tak lama lalu kembali fokus ke jalanan. "Susah ah pakenya. Kalo Lo gak mau taro lagi aja di belakang."

Begitu katanya. Yasudahlah.

Aku melempar jaket itu ke tempat asalnya, lalu kembali duduk tenang sambil melihat melalui jendela di sampingku. Gelap tentu saja.

Seperti yang dikatakan Theo tadi, dia hanya mengantarku sampai gerbang depan asrama putri. Dia tidak banyak bicara ataupun berkomentar, setelah mengatakan "Hati-hati" dia langsung pergi dengan mobilnya.

Bahkan sebelum aku menyusuri jalan menuju gedung asrama langit sudah benar-benar hitam tanpa adanya satu bintangpun yang mengintip. Untung saja lampu taman yang terpasang di sisi jalan tidak ikut bersembunyi, kalau tidak mungkin aku tak bisa melihat ke arah mana aku harus pergi.

Rasanya lega begitu bangunan asrama yang sudah tua ini sudah benar-benar ada di depan mataku, rasanya aku bahkan tidak percaya bahwa banyak hal telah terjadi sore tadi. Dan yang Theo lakukan—tidak, sebisa mungkin aku harus mencoba untuk melupakannya, karena sedari tadi tak ada tanda-tanda kalau Theo memerdulikan ataupun membesar-besarkan hal itu.

Meski sebenarnya itu membuatku kesal. Dia mencuri sesuatu yang bahkan tak seorangpun pernah dapat sebelumnya.

Tadi demi menghindari kecurigaan yang tidak diinginkan, sebisa mungkin aku terlihat biasa saja. Pulang malam sudah menjadi hal yang mencolok sehingga bertingkah aneh bisa saja menimbulkan gossip nantinya. Aku benar-benar harus menghindari hal itu.

"Lena! Lo dari mana aja?" suara Dian menggema dari dalam ruangan yang kusebut sebagai 'kamar kami' ini, tepat sekali begitu aku membuka pintunya. Dian tengah berbaring di kasurnya dengan majalah fashion yang dia buka lebar-lebar tepat di depan wajahnya, sejujurnya aku lebih berharap dia sedang melakukan ritual ngebo-nya atau apapun itu asal dia tidak sadar kalau aku kembali. Karena aku tau, dia pasti punya pertanyaan yang tidak sedikit yang harus kujawab. Bahkan ketika sebenarnya aku sedang malas berbicara.

AlenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang