25. Laki-laki

388 31 8
                                    


Theo benar-benar mengundurkan diri. Bukan sekedar mengundurkan diri dari sekolah, dia juga 'mengundurkan diri' dari kehidupanku. He's gone, dan aku benar-benar tidak tau kemana perginya. Dia tidak lagi berada di apartemennya, pernah beberapa kali aku iseng ke sana dan bapak satpamnya bilang kalau Theo sudah tidak pernah lagi datang ke apartemen itu. Tanya ke mama, itu opsi terakhir yang akan kulakukan setelah aku lulus.

Iya lulus. Kira-kira satu bulan lagi sampai wisuda.

Belakangan ini, setelah UN dan SBMPTN selesai dilaksanakan memang kehidupan sekolahku terasa sedikit longgar. Sudah tidak ada jadwal kelas apapun lagi, hanya ada persiapan pembuatan buku tahunan. Sehingga memang banyak sekali waktu kosong yang tersisa.

Seperti saat ini misalnya. Aku dan Dian sedang tidur-tiduran di atas kasur tanpa melakukan apapun. Kondisi ini berlangsung semenjak tadi pagi hingga kini matahari di luar sana sudah berada tepat di atas kepala. Kalau dulu, saat masih aktif sekolah, mungkin saat-saat seperti inilah yang paling kutunggu. Hanya saja saat ini hal seperti ini sudah jadi rutinitas tiap harinya sehingga menimbulkan rasa jenuh yang tinggi.

"Gilak, gabut banget Len." Dian mendesah sambil menaikkan kaki ke muka dinding. "Kalau udah gak jelas mau ngapain gini, kenapa kita gak disuruh pulang aja sih, sambil nunggu wisudanya di rumah gitu." Protesnya itu terlihat seperti ditujukan pada tembok di hadapannya.

Aku setuju dengan Dian. Meski nyatanya, di rumahpun rutinitas kegabutan ini akan terus berlanjut, tapi rasanya lebih betah di rumah daripada di asrama. Bagaimanapun rumah selalu menjadi tempat ternyaman untuk ditinggali.

Kali ini Dian menengadah, menatapku terbalik. "Oh iya, udah berapa bulan Len? Itu ponakan gue." Jari telunjuknya mengarah ke perutku. Sudah lama Dian mengklaim bahwa nyawa di rahimku ini adalah keponakannya.

Aku meraih kalender kecil yang bertengger di atas nakas. Aku memang menghitung setiap minggunya, tapi untuk memastikan kebenaran ingatanku, aku perlu melihat catatan yang selalu kutulis tiap minggunya di sana. "Jalan 24 bulan."

"Anjir, enam bulan?!" seketika Dian bangkit dari posisinya, suaranya agak melengking. "Tapi perut Lo masih kayak rata gitu!" kali ini dia menatapku dengan dahi berkerut. Tidak mempercayai pengakuanku barusan.

Sejujurnya, aku sendiri juga ragu. Berbeda dengan ibu-ibu hamil yang pernah kulihat, seperti halnya para tetanggaku dulu. Usia kehamilan enam bulan itu seharusnya sudah mampu membuat perut berbentuk gelembung yang besar. Sementara aku—tidak rata-rata amat sih—tapi bentuk gelembungnya tidak sebesar tetangga-tetanggaku itu. Aku jadi khawatir apa aku salah menghitung tanggal atau bagaimana.

"Serius deh Lo kayaknya harus periksa ke dokter, Len! Bisi ponakan gue kenapa-kenapa! Terus sekalian Lo cek itu cewek apa cowok." Aku manggut-manggut mendengarkan ultimatum yang Dian berikan. Dian benar. Sudah seharusnya aku pergi ke dokter untuk melihat kondisi bayi ini. Tapi aku bingung. Pertama, kalau pergi sendiri aku merasa malu dan takut, kalau pergi bersama orang lain; aku tidak tau siapa yang akan mengantar. Dan, aku tidak tau juga siapa yang akan membiayai.

Alih-alih mengiyakan, aku malah mendesah berat. "Iya, rencananya gue mau urus-urus itu sebulan lagi. Habis lulus aja."

"Kok abis lulus sih!" Dian menatapku sangsi.

"Iya... mau gimana lagi, kalau bilang mama berarti harus nunggu satu bulan lagi. Aku bingung harus—astaga! Kenapa aku sampai lupa! Kan ada Miss Naida!" seketika aku bangkit dari kasurku. Bisa-bisanya aku melupakan kalau Miss Naida masih satu kerabat denganku. "Di, gue mau konsultasi ke Miss Naida sekarang." Aku lantas membuka lemariku, mencari baju seragamku.

Sesaat Dian terdiam sambil mengiyakan. "Gue ikut ya. Gabut disini." Lalu Dian melakukan hal yang sama sepertiku; mencari baju seragam.

Kami berdua berjalan beriringan menuju gedung sekolah. Saat ini seharusnya masih waktu istirahat, dan mudah sekali menemukan keberadaan Miss Naida. Pasti tanteku yang eksentrik itu sedang menikmati makan siang di dalam kantornya.

AlenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang