24. Sebuah Kisah

422 29 14
                                    


"Len, mau gue bantu gak turunnya? Apa mau di gendong sini." Tawaran yang diberikan oleh cowok di depanku ini sudah menembus ke tiga kalinya. Dia berdiri di bordes, berbeda 7 anak tangga dariku. Dengan ancang-ancang gayanya yang melebarkan tangan dan siap untuk menangkapku itu justru membuatku ingin tertawa terbahak-bahak sambil mencubitnya keras-keras.

Aku tau Bagas tidak bermaksud meremehkanku, tapi itu hanya bentuk simpatinya, karena belakangan ini naik-turun tangga jadi hal yang paling melelahkan. Apalagi kelasku bukan dijajaran lantai bawah.

"Gue ok, kok." Alih-alih tertawa terbahak, aku hanya terkekeh pelan sambil menuruni tangga pelan-pelan. Satu demi satu langkah dan berusaha terlihat senormal mungkin.

Bagas membiarkanku. Tapi dia tetap menungguiku hingga sampai lantai dasar. Rencananya kami akan pergi ke kantin untuk makan siang. Tapi gara-gara aku yang lelet turun dari tangga, waktu kami hampir habis separuhnya.

"Buset dah, gue turun dari tangga lantai 4 aja lima belas menit. Nenek gue aja lebih cepet dari ini." Aku melirik jam tanganku lantas menertawai diriku sendiri. Memang hari ini paling lama. Biasanya lima sampai delapan menit saja, tapi entah kenapa hari ini aku sulit sekali melangkahkan kaki. Padahal berat perutku sebenarnya tidak seberapa, keliatan nongol juga enggak. Salah hormon mungkin?

"Besok-besok gue bikinin katrol mau gak? Biar Lo gak usah naik-turun tangga." Bagas menyeringai di sampingku.

"Anjir, harus katrol banget ya, dikira mau ambil aer sumur aja lo!" lagi-lagi aku tertawa sambil menepak-nepak lengan Bagas. Sementara Bagas hanya mengaduh sambil ikutan terkekeh.

Rutinitas pergi ke kantin ini selalu kami lakukan bersama, hampir selama 2 minggu terakhir ini. Selama itu pula Bagas menjadi sukarelawan yang menemaniku kemanapun, menungguiku kala jalanku melambat seperti kura-kura. Aku tidak memaksanya, sungguh. Awalnya aku sering mengusirnya, menyuruhnya untuk melakukan aktivitas lain yang lebih bermanfaat untuk dirinya, tapi seperti halnya aku yang keras kepala, dia juga demikian kerasnya untuk selalu mengikutiku. Ya sudah, aku biarkan, toh dia juga bisa menjadi teman berbicara yang menyenangkan.

"Lo duduk dulu disitu, mau pesen apa? Gue yang ambilin." Persis seperti pelayan pribadi yang sering kutonton di drama-drama korea. Bagas lalu meggeser bangku agar aku langsung duduk. Setelah itu ia segera membelikan makanan yang ingin kubeli. Tentu saja pakai uangku.

Tak butuh waktu yang lama sampai dia kembali dengan dua piring sate maranggi di tangannya. Dia memberikanku satu piring dan satunya lagi untuk dirinya sendiri. Namun begitu ia duduk, tiba-tiba ada dua orang yang menghampiri meja kami. Cepi, kalau tidak salah itu panggilannya, teman satu grup bandnya Bagas. Lalu di belakang Cepi berdiri seorang gadis, gadis yang amat kukenal; Dian.

"Eh anjir, lo dicariin malah pacaran disini." Cepi menyemprot Bagas. "Lo lupa lusa kita ada perform apa? Buru anjir latihan sekarang!" dia sudah ancang-ancang menarik Bagas.

"Slow bor. Gue abisin makan dulu sebentar. Trus anterin Lena dulu, masak gue tinggalin dia sendirian."

Kali ini Cepi menoleh padaku. "Eh sorry Len, gue pinjem Bagasnya dulu boleh ga?"

Aku lihat Bagas sudah memberi kode agar tidak mengijinkan Cepi. Tapi aku tidak tega dan memang seharusnya prioritas Bagas saat ini bukan diriku. Rasanya salah kalau aku menahannya disini.

"Ambil aja Cep, gak usah dibalikin juga gak apa."

"Roger." Lantas Cepi menarik Bagas dan menyeretnya menjauh.

Yang kukagetkan kemudian adalah; Dian tiba-tiba duduk di depanku, tempat sebelumnya Bagas duduk.

"Gas, makanan lo buat gue ya!" dia berteriak pada Bagas yang hampir menghilang dari pandangan. Lantas mulai menyendok sesuap nasi dan menelan sate di hadapannya.

AlenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang