12. Empat Jam Dikali Dua

474 37 22
                                    

Hari ini aku menghabiskan waktu makan siangku di kantin, dengan semangkuk bakso dan sekaleng fanta. Dian sempat menemaniku, tapi dia malah ngeluyur begitu mendengar kabar bahwa klub basket sedang lawan tanding. Aku curiga sekarang dia lagi nyari crush baru setelah 'kisah cinta'-nya kandas tadi malam—well, Dian kelewat depresi soal 'permen' semalam.

Mengingat hal itu membuatku merinding. Gara-gara barang sialan itu perasaan ngeri selalu timbul setiap Theo lewat di depanku, meskipun dalam radius 50 meter. Sinetron banget, tapi kenyataannya begitu.

"Hei..." seseorang tiba-tiba duduk di seberangku. Bagas, dengan sebotol pulpy orange dan cengiran lebarnya. Rasanya sudah lama sekali tidak melihat anak ini berkeliaran.

"Kemana aja Lo? Udah lama banget gue gak liat." Aku tersenyum, mulai berbasa-basi.

"Masa sih? Masih di kelas yang sama kok kayak Lo. Itumah Lo-nya aja yang fokusnya cuma ke bapak guru matematika." Cengirannya semakin lebar, antara menyindir atau memang sedang bercanda.

"Ih apaan sih..." sindiran atau bukan kata-katanya jelas mengenaiku.

"Oh iya, tumben gak sama Dian?" dia menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sosok yang sebenarnya tak ada dalam radius jarak pandang.

"Lagi nonton basket dia." Aku menjawabnya setelah menegak fantaku, sementara Bagas ber-oh-ria, lalu jadilah keheningan di antara kami, yang terdengar hanya keributan manusia di lingkup ruang ini.

Sepertinya kami berdua sibuk dengan pikiran di benak masing-masing.

Hingga tiba-tiba mulutku bergerak sendiri dan mengutarakan sesuatu yang agak-beneran-sinting. "Emang kalo orang pake kondom itu bisa ya dipake sendiri tapi gak ada pasangannya?"

Bagas tersedak pulpy­-nya dan mulai terbatuk-batuk. Dia terlihat shock, pupilnya sempat mengecil sebelum ia mengerjap karena terbatuk.

Beberapa saat setelah Bagas tersedak membuatku sadar kalau aku ini beneran sinting. "Gajadi Gas, lupain aja omongan gue tadi! Demi, gue cuma ngelantur! Jangan mikir macem-macem Lo." Malah aku yang merasa illfeel. Hancur sudah citra diriku di mata cowok ini.

Meski Bagas tertawa lepas setelahnya, aku yakin dia sudah men-cap diriku sebagai bukan-cewek-polos. Aku juga akan melakukan hal yang sama bila berada di posisinya saat ini. "Lo lagi ngomongin siapa sih? Yang jelas bukan Lo kan yang mau pake? Haha, gue jadi penasaran..." air mata di sudut matanya tak tertahankan saat dia tertawa. "Eh jangan-jangan Pak Theo? Lo... Lo gak akan bilang kalo dia... ngelakuin yang enggak-enggak kan?!" tawanya menghilang dalam sekejap, digantikan oleh suara serius dengan kekhawatiran yang tampak dalam ekspresinya.

"Enggak lah!" aku membantahnya cepat, terlalu cepat malah. "Itu, ng, kemaren gue gak sengajal liat itu di kresek yang dibawa-bawa sama bapaknya."

Bagas menarik napas dalam-dalam, seakan-akan oksigen sempat menghilang di udara. "Ya elah, itu mah biasa kali. Lagian mana mungkin dipake sendiri Len, kurang kerjaan amat. Dia kan udah punya istri. Lo... udah tau kan kalo itu?" di bagian terakhir ia berkata dengan sedikit hati-hati, mungkin karena merasa tidak enak padaku yang dipikirnya merupakan cewek aneh yang bisa-bisanya suka sama guru ber-istri.

"Hmm," aku bergumam alih-alih menjawab pertanyaannya.

"Bisa-bisanya Lo masih belum nyerah Len. Sebenernya gak tepat gue bilang gini, tapi Lo masih serius sama Pak Theo? Gue ngerasa dia cuma main-main. Dia udah ber-istri, dan bisa-bisanya dia ngedeketin cewek lain. Gue sebagai cowok aja gak suka tipe yang kayak gitu." Pandangannya seperti mengawang di udara.

"Gue sendiri juga gak ngerti, haha." Bukan tidak mengerti, lebih tepatnya tidak tau bagaimana cara menjawab kata-katanya itu.

"Tapi gue salut sama kegigihan Lo..." dia tersenyum, tapi senyum ternanar yang pernah kulihat di wajahnya.

AlenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang