22. Akhirnya

390 27 10
                                    

Sejak kami pulang dari klinik itu Bagas sama sekali tidak mengajakku berbicara. Dia hanya berjalan dengan pandangan kosong sambil sesekali menendang kerikil di depan kakinya. Aku sudah menceritakan semua hal yang terjadi pada Bagas. Kalau tidak begitu, Bagas akan menuding bahwa aku terjerumus pada pergaulan bebas. Namun apapun alasanku sampai memiliki nyawa di rahimku ini, tentu saja akan sulit untuk diterima. Mengingat usia dan kondisiku.

"Lo marah ya, Gas?" akhirnya aku memberanikan diri berbicara begitu kami sudah turun dari angkot. Sekitar sepuluh meter lagi gate utama sudah terlihat.

Bagas tidak menoleh, dia hanya menatap jalan di depannya. "Gue shock." Lantas dia tertawa sumbang. "Masih susah percaya, Len."

"Sorry... tapi kalo gak dirahasiain gue bisa di DO..."

Kali ini Bagas tidak menjawab. Dia terus berjalan di depanku dengan sesekali menghela napasnya. Aku mengerti kok bagaimana terkejutnya dia. Kalau diposisinya pun aku akan begitu.

Hingga kami sampai di depan gate utama, barulah Bagas berbalik badan dan menatapku. Senyuman miring nampak di wajahnya. "Gue nggak marah Len. Tapi gue butuh waktu buat berpikir." Dia lantas mengusap tengkuknya. "Lo langsung balik asrama ya, istirahat. Thanks dan sorry untuk hari ini..." setelah berkata demikian Bagas segera berbalik badan dan bergerak menuju asrama cowok.

Aku juga, segera pulang ke kamarku.

*****

"Selamat pagi, hari ini kita try out ya." Pagi itu, suara berat yang akhir-akhir ini selalu kurindukan tiba-tiba terdengar lagi. Suara itu berasal dari depan kelas, seorang pria tampan dibalut kemeja batik. Senyuman ringan ia pamerkan sambil menatap segala arah. "Masukan buku-buku kalian ke dalma tas."

"Pak Theo! Baru balik aja masa langsung ngasih try out!" aku tau itu suara Icha. Sejurus kemudian suara-suara yang lain menimpali dengan nada protes.

Pria itu tidak marah, malah terkekeh sambil memamerkan setumpuk kertas soal. "Ini oleh-oleh dari saya loh, masa gak mau diterima." Dia tidak lagi memperdulikan protesan siswa kelas, lantas membagikan soal-soal itu pada setiap siswa, termasuk aku.

Jujur, aku tidak keberatan kalau harus mengerjakan soal try out yang soalnya bikin kepala serasa meledak ini. Sungguh, aku tidak keberatan, selama Theo akhirnya hadir di hadapanku.

Aku benar-benar merindukannya.

Rasanya jantungku menari kecak kala Theo berdiri di depan mejaku, memberiku selembar kertas soal dan lembar jawaban sambil memberikan senyum hangat yang sudah lama sekali tidak kulihat. Astaga, kalau saja tidak ada siapapun disini, mungkin sudah aku terjang ketika hidungnya tampak di ambang pintu.

Theo sudah berdiri lagi di depan kelas. Sekilas dia mengecek jam hitam yang melingkari tangannya. "Sampai jam setengah sembilan ya, sembilan puluh menit lagi." Dia kemudian menduduki kursinya dan membuka-buka buku di hadapannya.

Sesekali aku mencuri-curi pandang ke arahnya. Siapa tahu dia balik menatapku, tapi mungkin karena terlalu sibuk dengan buku dihadapannya Theo bahkan tidak melepaskan pandangan matanya dari buku itu. Aneh, biasanya, tanpa aku yang harus mencuri pandang, dia selalu siap menatapku dengan pandangan dingin yang bikin hati menggigil. Lagi baca apa sih?

Satu setengah jam pun berlalu. Semua lembar jawaban dikumpulkan. Lantas akupun ikut mengumpulkan begitu selesai mengecek ulang semua jawabanku, memastikan setidaknya aku melingkari semua nomor. Sekitar lima menit setelah Theo keluar dari kelas, akupun segera pergi ke ruangannya. Mengendap-endap tentu saja. Begitu aku sampai disana, Theo sudah duduk di depan mejanya, sementara di hadapannya ada Miss Naida yang berdiri sambil berkacak pinggang.

AlenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang