10. Dian

521 34 12
                                    


Biasanya kalau aku melakukan suatu pelanggaran aku akan langsung mengabaikannya. Kesannya aku cuek bebek pada setiap sanksi yang kuterima, meski terkadang perasaan bersalah menghampiriku dikala masa sanksi hampir berakhir. Bisa dikatakan aku kebal dengan sanksi—yang kebanyakan adalah berdiri di lapangan asrama, membersihkan kamar mandi, berlari di sepanjang koridor asrama dengan nametag bertuliskan 'sedang dihukum'. Tapi kasus kali ini jauh berbeda dengan kasus-kasus kecil yang biasanya kuperbuat. Bahkan perasaan gelisah itu sudah muncul ketika aku baru saja tertangkap basah melakukan suatu kesalahan. Kalau dalam agama hal yang baru saja kulakukan adalah sesuatu yang dibenarkan, tapi dalam kasus sekolah... ini seperti menggali kuburanku sendiri.

Semangat hidup yang kumiliki terasa menguap dan perlahan menghilang. Kalau misalkan aku sampai di drop out—astaga, aku benar-benar tidak tau apa yang harus kulakukan. Bagaimana caranya aku bisa menemui orang tuaku nanti...

"Lena, Lo kenapa ngelamun mulu? Lo sakit ya?"

Kami sedang menunggu angkot di persimpangan yang sedikit sepi. Saat itu langit sedikit mendung, dan udara jadi terasa agak dingin. Semua indikator luar ini sangat mendukung suasana melankolis. Kalau saja Dian tidak menepuk bahuku terlebih dahulu sebelum bertanya mungkin aku tak akan sadar dan terus melamun menatap jalanan.

"Oh, enggak Kok."

Dian menatapku sesaat kemudian kembali menatap ke arah seharusnya angkot itu muncul. "Syukur deh, bisa-bisa kita nggak jadi pergi..." suaranya agak menggantung di udara. "Oh, tuh ada angkotnya..." tak lama berselang tunggangan yang kami tunggupun akhirnya datang.

Sebenarnya kami bisa berjalan kaki menuju supermarket itu tanpa menggunakan angkot sama sekali, mungkin hanya akan memakan waktu sekitar sepuluh sampai lima belas menit, tapi karena ini tipikal orang yang gak mau capek jadi jalan kaki bukan termasuk pilihan. Well, aku sih tidak terlalu ambil pusing dengan ongkos angkot yang relatif naik akhir-akhir ini, toh kalau Dian yang memintaku menemaninya sama saja dengan bebas biaya trasportasi. Makanya aku tidak protes barang sekalipun.

Selain menjadi orang yang sangat deramawan, bagiku Dian juga merupakan tipe teman belanja yang menyenangkan. Kadang dia mengomentari beberapa produk yang baru saja keluar dengan gaya blak-blakannya yang khas, memberitahuku kekurangan dan kelebihan suaru produk yang pernah ia gunakan, tak lupa merekomendasikan barang-barang yang layak kubeli. Well, memang terkesan rempong karena ia tampak seperti ibu-ibu cerewet yang sedang berbelanja, tapi melihatnya yang seperti itu membuaku geli sendiri, bahkan selama beberapa saat aku bisa melupakan terror yang membebani pikirianku saat ini.

"Pokoknya Lo jangan pernah sekali-kali pake deterjen sialan ini, wangi emang iya tapi bikin gatel urgh!" dia mengumpat pelan, setengah berbisik padaku agar tidak terdengar oleh mbak SPG yang berdiri tak jauh dari kami.

"Gue juga gak pernah pake yang itu sih, haha..."

Setelah hampir setengah jam lebih kami berwara-wiri di supermarket ini akhirnya Dian pun memutuskan untuk menyudahi kegiatan shopingnya. Aku sendiri sedari awal memang taka da niatan untuk berbelanja sehingga yang kulakukan dari tadi hanya mendengarkan celotehan Dian lalu mondar-mandir mengecek harga. Setidaknya aku bisa mengantisipasi pengeluaran bulan depan.

"Lo gak beli apa-apa Len?" Dian bertanya padaku ketika seorang kasir memasukkan barang-barang yang dia beli ke dalam kantong kresek.

"Gak dulu deh, gue udah kebanyakan jajan." Benar, dompetku kandas di semi-akhir bulan.

"Hmm, Len gue punya firasat kalo diluar ujan deh kayaknya."

Hebatnya Dian benar, ketika sampai di teras supermarket itu ternyata hujan lebat memang sedang mengguyur Kota Depok. Air dengan volume besar disertai angin kencang ini benar-benar membuat sebuah kombinasi bernama badai.

AlenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang