17. Kecelakaan

475 20 1
                                    

Malam itu aku mengikuti kata-kata Theo, mengunci pintu dan tidak membukanya. Malam itu entah kenapa terasa panas dan gerah, padahal AC sudah ku setting pada temperatur 16 derajat, ditambah aku hanya mengenakan tank top dan celana pendekku—well aku memang biasa tidur dengan kostum itu.

Tadinya aku ingin menghitung domba untuk tertidur, rasa deg-deg-an akibat prediksiku yang salah membuat diriku fresh kembali. Namun hitungan itu tak jadi kumulai karena tiba-tiba aku tersibukkan dengan memikirkan alasan kenapa Theo menyuruhku mengunci pintu kamar dari dalam. Maling? Setan?

Sebelum berhasil menyimpulkan hipotesis diriku malah terlelap lebih dahulu.

Waktu sudah menunjukan pukul lima ketika mataku terbuka. Setelah beberapa saat mengumpulkan jiwa akupun mengambil sikat gigiku dan keluar dari kamar itu. Tadinya aku ingin langsung sikat gigi dan mengambil wudhu, tapi di dalam kamar mandi masih ada Theo, akupun merapat ke arah sofa. Awalnya hanya duduk menyandar, namun sekejap mata berikutnya posisiku sudah telentang dan siap lagi merajut mimpi.

"Len, udah tuh kamar mandinya..." suaranya seperti alarm yang membuatku kembali ke alam sadar. Segeralah aku bangkit dari posisiku dan melangkah sempoyongan ke arah kamar mandi.

Mungkin karena masih berada diambang alam sadar aku tidak memperhatikan arah jalanku dan malah menabrak Theo. "Aduduh..sorry..."

"Eh kamu..." suaranya tertahan. Ketika aku mendongak kudapati matanya agak melotot. Aduh, siap-siap kena semprot.

"Ng-nggak jadi deh..." anehnya, dia malah langsung berlalu tanpa menoleh. Dasar aneh.

Akupun menikmati waktu kamar mandiku dengan leluasa.

Rasanya begitu segar ketika air keran yang dingin itu mengenai kulitku. Bukan mandi, terlalu pagi untuk hal itu. Aku hanya menjalani ritual pagiku, menggosok gigi-cuci muka-cuci tangan-cuci kaki.

Begitu aku selesai dengan urusan kamar mandi, aku mendapati Theo yang sedang berada di dapur, berdiri menghadap kompor, membelakangiku. Handuk kecil berwarna kuning mengitari tengkuknya, mirip tukang becak. Dari jarak ini aku bisa menghirup harum khas telur yang digoreng.

Aku menyelinap ke belakangnya.

"Bikin apa? Harum bangeet..." aku mencurilihat ke arah wajan di depannya, benar saja isi wajannya adalah telur yang di goreng.

"Bikin sarapan, kamu—" dia sempat menoleh, beberapa saat. Pandangannya mengarah ke—yang jelas bukan wajahku, sedikit lebih bawah. Namun seperti kubilang sebelumnnya, hanya beberapa saat sampai dia kembali menatap wajan.

Dia memijat-mijat pelipisnya dengan tangan kiri, "Kamu tunggu aja sana, nonton kek, ngapain kek..."

Jelas dia menyuruhku menjauh.

Well, karena diperlakukan seperti bukan lagi sesuatu yang jarang, dengan lapang dada aku mengikuti sarannya. Menjauhi dapur dan segera bertengger di depan tv.

Selang beberapa iklan dan sekali tayangan berita pagi, Theo datang membawa dua piring telur dadar, tanpa nasi.

"Kamu kalo makan emang ngirit gini, ya?" aku menerima piring berisi telur dadar yang dia sodorkan padaku. "Pantesan aja kurus gitu." Aku menyipitkan mataku sambil menatap tubuh yang lebih ramping dari diriku.

"Yang penting masih makan. Jangan banyak protes."

"Iya deh iya..." aku memulai sarapanku. Yakin deh telur ini abis sekali telen.

Aku jadi curiga kalau ternyata yang bisa cowok ini masak Cuma telur dan mie instan.

Kira-kira pukul 9 kami berangkat menuju Jakarta. Aku sengaja memakai baju lengan panjang dengan jeans yang juga panjang. Terakhir aku menggunakan one piece di mobil ini memberikan kesan sedang berada di puncak gunung. Lalu hari ini Theo tampil luar biasa ganteng. Walaupun memang dia selalu tampak mempesona setiap saat. Dia mengenakan kaos lengan pendek yang sedikit ngepas di tubuhnya, lalu jeans dongker dan converse hitam. Aku sempat melihat ia menyisir rambut hitamnya dengan rapih, tapi kembali berantakan tak lama setelah ia mengacak-acak rambutnya sendiri di depan cermin.

AlenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang