13. Pelajaran dimulai

525 39 19
                                    


Aku pergi siang itu setelah menguatkan hati yang mudah tergoda dengan candu dunia ini, tentunya hanya seorang diri. Sebelumnya aku sempat mengecek rekeningku dan menemukan nominal yang sama seperti yang Theo sebutkan tadi pagi, dua juta lima ratus ribu rupiah. Dengan ini masalah keuangan terpecahkan, tinggal hawa malas saja yang benar-benar tak bisa kuhiraukan saat ini.

Ayolah ini hari sabtu, hari terpanas di antara hari lainnya, matahari selalu lebih menyengat di hari sabtu. Belum lagi macet luar biasa dan beruntungnya aku mendapatkan kesempatan duduk di angkot ditemani ayam hidup di sampingku. Ya ampun.

Terlepas dari segala cobaan singkat itu, disinilah aku berdiri, di depan sebuah pintu kayu dengan angka 37 yang tertera di tengahnya.

Kukira akhirnya aku bisa bernapas lega, tapi berdiri di depan pintu ini saja sudah membuatku gugup setengah mampus. Seperti ada kupu-kupu yang bertamasya di perutku. Plis deh... bukan saatnya untuk mules sekarang!

Perlahan kutekan tombol belnya, tak lama berselang pintu pun terbuka.

"Oh...Kirain siapa." Theo muncul dari balik pintu. Seketika aku harus menegak ludah. Rambut, wajah dan tangannya basah, jejak air mengalir masih tampak jelas. Ia mengunakan kaos putih tipis dan sarung biru bermotif kotak. Dia tampak seperti pria yang sudah siap menjadi imam. Oh wow...

"Masuk aja, gue mau dzuhuran dulu..."

Kan, udah siap banget jadi imam.

Dia lantas masuk terlebih dahulu dan aku mengikuti di belakangnya. Dalam sekejap aroma khas itu kembali memenuhi paru-paruku. Bukan berarti aku membencinya, malah aku mulai menyukainya.

Apartemennya kali ini tampak lebih rapih daripada sebelumnya. Benar dugaanku, waktu itu apartemennya kacau karena dia sedang sakit. Sementara dia sholat di dalam kamarnya, lantas aku duduk di sofa sambil menunggunya. Tepat di depanku, di atas sebuah meja ceper dengan permukaan kaca, berdiri sebuah foto ukuran 5R berbingkai kayu yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Foto itu menampilkan empat orang di dalamnya. Theo, Mbak Carissa dan kedua orang tuanya. Ibu dan ayahnya masih tampak sehat, bugar dan di penuhi oleh senyuman hangat disana. Meski aku tak pernah melihat ayah Theo sebelumnya, aku yakin sekali kalau orang yang duduk bersanding dengan Ibu Hanessa adalah ayahnya Theo—mamaku bilang ayah Theo meninggal 3 tahun yang lalu karena kecelakaan. Oh, di dalam foto itu Mbak Carissa tampak luar biasa cantik dan ayu banget, sementara Theo terlihat menggemaskan dengan cengiran lebar yang menghias di wajahnya. Sepertinya ini foto lama, kutebak mungkin ketika Theo masih SMP. Melihat keluarga kecil ini membuatku tak harus heran kenapa Theo dan Mbak Carissa punya tampang yang luar biasa ok, bagaimanapun gen orang tua tidak pernah bisa berbohong.

Eh, tapi kalo gen pendek-ku dapet dari siapa ya? Mama sama papaku gak pendek kok, adekku juga... Gusti aku anak siapa...

Selang beberapa saat setelah aku melamunkan hal random Theo-pun keluar dari kamarnya, kini sarungnya telah tergantikan dengan celana tiga perempat berwarna krem. Mendadak ada aura menenangkan di sekitarnya, wajahnya teduh sekali serta enak dipandang. Kalau aku amnesia mungkin saja sudah kumasukkan dia ke dalam daftar cowok-idaman-yang-gak-boleh-disia-siakan.

"Udah makan siang?" suaranya menyadarkanku dari lamunan yang lagi-lagi random. Dia bertanya sambil berlalu ke arah dapur mini yang letaknya tepat di sebelah pintu keluar, berseberangan dengan kamar mandi. "Masih setengah satu. Mau nge-mie­ ­ga?" dari dalam lemari gantung yang agak tinggi dia mengeluarkan sebungkus indomie dan memamerkannya padaku.

"Makasih. Gue udah makan tadi di asrama."

"Oh,"

Sedikit menyesali kehadiranku yang lebih awal, mungkin seharusnya aku datang mepet waktu saja, jadi aku tak perlu bingung harus melakukan apa sambil menunggunya merebus mie lalu memakannya. Alhasil aku malah tampak seperti orang sok asik yang pura-pura tertarik dengan setiap detail apartemen ini. Seharusnya aku memikirkan aktivitas lain.

AlenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang