3. Sakit itu Masalah kan, ya?

727 49 3
                                    


Bulan Agustus, sekiranya sudah 2 bulan aku menjalani hidupku sebagai siswi kelas 3 SMA, juga menjalani situasi aneh di sekolahku ini. Theo, cowok dengan karisma super sudah sah menjadi suamiku sejak 2 bulan yang lalu. Tanpa aku mengerti ada angin apa yang merasukinya sampai akhirnya ia melamar kerja menjadi guru di sekolah ini, men'spesialisasi'kanku dengan caranya yang menyeramkan. Baik aku maupun Theo benar-benar menyimpan rahasia ini dengan sangat rapat, meski tak ada jaminan kalau rahasia ini akan terus terjaga, tapi setidaknya aku akan bertahan untuk sementara ini.

Sabtu pagi. Hari ini biasanya menjadi hari yang paling kutunggu dikarenakan pelajaran hanya berlangsung sampai siang, tapi itu dulu ketika aku duduk di bangku kelas 2. Setelah tertera tulisan 'Matematika' di jadwal pelajaran Hari Sabtuku rasanya ini seperti pembunuhan secara perlahan.

Haha, Kidding.

Dan yah, kini aku harus kembali menyiapkan mentalku, beberapa detik lagi sosok itu akan muncul.

"Pagi anak-anak,"

Kalimat itu terkesan menyenangkan, tapi tidak untuk orang-orang tertentu. Suara perempuan yang cempreng itu—eh, tar dulu, kok suara cewek?!

"Hari ini Pak Theo tidak masuk karena sakit. Untuk sementara waktu ini saya yang akan menggantikannya." ternyata suara itu milik guru matematika kami yang sebelumnya. Nenek lampir yang aku benci setengah mampus, setelah Theo tentu saja.

Sebagian besar murid mengeluh, dan Dian termasuk satu diantara sebagian besar itu. Kini ia tengah meremas-remas penghapusnya sendiri sambil mungkin, membaca mantra? Mulutnya tidak berhenti bergerak meski aku tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang ia ucapkan.

"Yang tidak suka kalau saya mengajar silahkan keluar!" tegas nenek lampir—tidak, Bu Anne. Matanya yang tajam mengedarkan pandangan yang sama-sama tak suka pada murid-muridnya. Beliau memang terkenal tegas, terlalu tegas malah sampai-sampai diberi gelar 'guru killer'. "Kalau tidak ada jangan berisik."

Segera saja kelas kembali hening, tak ada satupun yang berani membalas atau menatap langsung mata guru itu. Konon sang guru bisa membaca pikiran orang dengan menatap matanya. Entahlah.

Well, rasanya seperti nostalgia belajar maut dengan nenek lampir ini, walaupun tentu saja aku tetap tak menyukai caranya mengajar atau pelajaran yang ia ajarkan. Di mataku semua angka-angka itu tampak terbang dan mengejekku. Apa itu integral? Fungsi? Linear?

Melihat ke arah papan tulis saja rasanya membuatku mual.

Astaga...

Secara refkles aku melepaskan pulpen yang ada di genggamanku dan menyandarkan punggungku di kursi berniat untuk merilekskan diri. Aku menyerah dengan catatan-catatan di papan tulis itu, nanti saja kupinjam buku catatan milik Dian.

"Kenapa Lo Len?" Dian yang ada di sampingku menyadari keputusasaanku.

"Biasa, sindrom nenek lampir." Jawabku sekenanya.

Dian menarik napas berat, "Padahal ya, gue lebih pengen yang ngajarinnya Pak Theo. Kan jadi makin semangat." Keluhnya. "Bapaknya sakit apa ya, watir gue. Gimana kalo sakitnya parah? Terus ternyata gabisa ngajar lagi, waduh mampuslah riwayat matematika gue!"

Seketika aku tertegun. Kata-kata Dian ada benarnya juga, mungkinkah pria itu sakit parah? Maksudku, bisa-bisanya orang semacam Theo sakit!

Tunggu dulu, lagipula untuk apa aku memikirkannya? Kalaupun dia berhenti mengajar bukannya malah menguntungkanku?

Begitulah yang aku niatkan. Namun aku menyadari bahwa kenyataan menjadi sedikit berbeda dengan rencana. Sepanjang jam pelajaran pikiranku tak pernah fokus ke papan tulis, tapi melayang ke tempat yang sebenarnya tak begitu ingin kupedulikan. Alam bawah sadarku terus-menerus memikirkan segala kemungkinan yang menimpa Theo, terus-menerus mengkhawatirkannya. Aduh, kenapa bisa begini...

AlenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang