21. Kabar (2)

406 29 10
                                    

Hah....

Aku menghela napas, panjang sekali. Bentuk dari kekecewaanku atas keputusan ibu asrama. Beberapa saat yang lalu aku meminta izin untuk pulang dan menginap, tapi belum sempat aku mengutarakan alasanku—yang sebenarnya diada-ada—Ibu asrama yang galak itu langsung melarangku. Beliau bilang aku sudah terlalu sering pulang dan menginap, juga sering kabur dan terlambat pulang.

Ya...gak salah sih.

Tapi ini kan urgent. Penting banget. Pasalnya sudah hampir dua minggu lebih aku tidak bisa menghubungi Theo. Dia belum kembali mengajar setelah ibu meninggal. Dia juga tidak menghubungiku sama sekali. Kalau kutanya mama, mama bilang Theo lagi sibuk mengurusi beberapa urusan, tapi mbok ya kabarin lah. Gara-gara kabarnya tidak jelas seperti ini aku jadi merasa khawatir.

Plus Kangen.

"Hah..." sekali lagi aku menghela napas.

Dengan gontai aku berjalan menyusuri jalan setapak menuju asrama. Sengaja aku mengambil jalan memutar karena pemandangan kebun bunga di sepanjang jalan ini bisa sedikit memudarkan rasa stresku. Bagaimana tidak stres, sudah dua minggu lebih ini aku merasa diasingkan. Dari yang hanya Dian seorang saja yang mendiamiku, tiba-tiba teman-teman yang dekat dengannya ikut-ikutan sukar mengobrol denganku.

"Kenapa sih...gue salah apa sih..." aku mendengus sambil melihat sebal ke arah kerikil yang berserakan di bawah kakiku.

Rasanya dadaku sesak sekali. Ingin menangis, tapi kutahan-tahan, toh menangis tidak akan pernah mengubah apa-apa. Iya, gue harus kuat.

"Lagi ngapain Len?" tiba-tiba saja sebuah suara terdengar dari belakangku. Begitu aku menoleh, kudapati Bagas dengan sepeda motor hitam. Dia membuka kaca helmnya dan senyuman manis menghiasi wajahnya.

"Lah, Lo yang ngapain? Ini kan belakang asrama cewek." aku menaikkan sebelah alisku.

Bagas terdiam sejenak, namun sejurus kemudian dia terbahak. "Yakin Lo? Coba liat sekitar, ini mah udah gate utama kali!"

Bagas benar. Begitu aku menatap sekelilingku, ternyata aku sudah berjalan cukup jauh. Bukannya kembali ke asrama putri, kakiku malah melangkah ke gate utama. Kalau Bagas tidak menyapaku tadi, mungkin aku sudah pergi entah kemana.

"Hehe," aku nyengir, kikuk. "Jalan-jalan aja, Lo?"

"Mau balikin motor, ini gue minjem ke Pak Ardi tadi." Dia menunjuk ke arah pos satpam yang berada tak jauh dari kami. Pak Ardi yang dimaksud oleh Bagas adalah pria paruh baya yang sudah lama sekali bekerja menjadi satpam disini. "Eh, abis ini masih mau jalan-jalan? Mm, maksud gue, kalo gue ikut boleh gak? Lagi gabut juga." Lantas bagas nyengir, menampilkan sederet gigi putihnya.

Aku mengangguk, mempersilahkannya.

Segera saja Bagas mengembalikan motor, helm beserta kuncinya pada Pak Ardi. Setelah bercakap sebentar dengan pria berseragam itu, iapun segera kembali menghampiriku. "Mau jalan kemana?"

Jujur aku juga tidak punya tujuan yang pasti akan pertanyaannya. Toh sedari tadi aku hanya berjalan tak tentu arah sambil melamun. "Kemana aja, Gas. Lagi pengen nyari suasana yang nenangin aja..."

Sejenak Bagas terlihat berpikir, memutar otaknya, sebelum memperlihatkan senyuman manisnya lagi. "Gue tau tempat yang bagus. Ayo." Dia menggedikkan kepalanya ke arah selatan, keluar area sekolah.

"Eh, tapi kita belom izin, kan." Aku yang biasa pasti tidak akan pernah mempermasalahkan hal sepele seperti melanggar perizinan, tapi berkat ceramah ibu asrama dan karma yang baru terasa sekarang membuatku berpikir ulang untuk melanggarnya.

AlenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang