15. Mogok Bicara yang Merepotkan

604 40 10
                                    

Pagi-pagi sekali, sekitar pukul setengah tujuh, aku sudah hampir membuat kamarku menjadi kapal pecah. Sepertinya seluruh baju yang ada di lemariku sudah tersebar dimana-mana, hasil dari lemparan-lemparan asal yang kulakukan. Alasan mendasar mengapa aku melakukan kehebohan ini adalah: bingung mau pake baju yang mana.

Dian sampai kebingungan karena biasanya yang melakukan hal semacam ini adalah dia bukan aku. Dia juga sempat memarahiku karena mengganggu 'minggu tenang'-nya—yang aku yakini pasti menyangkut aktivitas molor sampai siang.

Satu jam kemudian, sebuah one piece putih selutut dan cardigan violet menjadi pilihanku. Sambil membawa satu stel pakaian yang sudah kuyakini, segeralah aku menuju kamar mandi, tentunya setelah merapihkan kembali apa yang telah kuperbuat sedari pagi.

Merupakan sebuah keberuntungan bagiku karena hari ini kamar mandi sedang sepi. Bebas dari antrian!


"Buset, mau kemana Lo?" Dian terkesiap melihatku yang sedang mematut diri di depan cermin. Beberapa kali ia mengusap matanya seperti orang yang melihat penampakan, kurang ajar. Well, tapi memang pantas dia terkejut, untuk seorang 'Lena' mengenakan one piece bukannya potongan bercelana adalah penampakan sekali dalam setahun.

"Eh bentar bentar bentar, Lo... sekarang udah punya pacar ya?!"

Padahal tadinya aku ingin mengabaikan pertanyaannya, tapi sial, malah tersedak. Bayangan Dian di pantulan cermin tampak curiga. "Nggak kok nggak, ini... acara keluarga." Cepat-cepat aku memberikan alasan yang mendekati kebenaran.

"Keluarga? Emang ada keluarga Lo yang di deket sini?"

"Ke Jakarta, lah!"

"Sama?"

"Sendiri. Lo mau nganterin gue?" aku sudah selesai dengan urusan di cermin dan segera berbalik badan. Dian masih menatapku curiga. "Duh udah ah gue berangkat." Mengabaikan Dian dan pergi dari sana.

Sebelum benar-benar menjauh dari kamar aku mendengar gema suara teriakan Dian, "LO UTANG CERITA MALEM INI TITIK!" abaikan saja.

Aku sudah terlambat. Jam digital di tanganku sudah menunjukkan pukul Sembilan kurang beberapa menit, dan aku masih berlari-lari di tanjakan menuju jalan raya. Aku merutuki diriku sendiri, menyesal kenapa tidak mulai bersiap lebih subuh sekalian. Dengan kecepatan penuh aku mengeluarkan semua kekuatanku untuk berlari. Alhasil, begitu sampai di bibir jalan raya rasanya kakiku menghilang. Engga ding, hiperbola.

Sialnya matahari sedang memanggang Depok, padahal masih pagi tapi panasnya luar biasa. Walaupun ada pohon yang berdiri tegak di pinggiran jalan, tapi tetap saja tidak berpengaruh banyak. Aku menatap ke arah seharusnya-angkot-ku-datang, tapi disana sama sekali taka da tanda-tanda kemunculan angkot, hanya mobil-mobil pribadi dan motor. Selalu pada saat-saat penting begini angkot-angkot itu seperti tertelan blackhole, sial. Keringat mulai terasa mengalir di punggungku.

Setiap digit yang tertera di jam digitalku berganti, aku jadi semakin panik.

TIIN!!

Hampir saja aku melompat ke tengah jalan ketika mendengar suara klakson tepat di belakangku. Untung jantungku sehat, kalau tidak bisa wassalam. Aku segera berbalik badan, sumpah serapah sudah siap dimuntahkan pada siapapun orang iseng yang tega berbuat demikian.

"Hei." Kudapati Bagas dengan motornya, nyengir tanpa dosa kepadaku. "Ternyata beneran Lo, gue udah takut salah orang aja tadi."

"Lo gila ya? Untung gue gak punya jantung! Trus gimana kalo Lo ternyata salah orang, terus dia pingsang ato kenapa-napa Lo mau tanggung jawab HAH?!" semprotku, tapi makhluk satu ini tetap saja melihatku dengan cengiran polosnya.

AlenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang