CHAPTER 2

2.2K 259 215
                                    

Awal bulan Juli tahun ini ditandai dengan hujan sejak pagi buta. Sedangkan bel tanda dimulainya tahun ajaran baru pertama kali berdering sejak tiga puluh menit yang lalu. Sialnya, Reno belum tiba di sekolah pada saat yang seharusnya. Tepat di hari pertamanya resmi menjadi pelajar SMU, Reno harus rela menuntun motor besarnya yang berat di bawah rinai hujan yang kian menderas. Setelan putih-biru hasil lungsuran dari SMP-nya dulu sudah basah kuyup, rambutnya melepek, dan buku-buku jarinya memutih kedinginan.

Ketika akhirnya ia sampai di sekolah, seperempat kegiatan MOS hari ini sudah dimulai, teman-teman seangkatannya sedang duduk berbaris di teras-teras dengan berbagai macam dandanan aneh, sementara Reno sendiri tidak mengenakan atribut apa pun yang diperintahkan senior mereka. 

Ia menghabiskan lima belas menit untuk mengurus surat izin masuk, memarkirkan motornya yang belum menunjukkan tanda-tanda tidak mogok lagi di lahan parkir. Kemudian dengan rasa percaya diri dan balutan kecuekannya yang setebal tembok Reno melangkah menuju kerumunan siswa kelas satu beserta para senior mereka.

Skip

Dari jauh, cowok itu langsung menjadi pusat perhatian. Langkahnya yang lebar dan pasti, sekujur tubuhnya yang basah kuyup dan tanpa satu pun atribut wajib MOS, garis mukanya yang datar dan sorot matanya yang tenang seperti orang tanpa dosa. Satu hal yang langsung mereka semua sadari dari cowok kerempeng itu. Pemberontak. Sandra -wakil ketua OSIS- menjadi salah satu senior yang bertugas di teras depan aula hari ini sekaligus melihat langsung kejadian itu. Dalam diam ia memandangi juniornya yang kian mendekat.

"Kamu tahu sekarang jam berapa?" Anneke, salah satu anggota OSIS berdiri menghadang anak baru itu dan menatapnya lurus-lurus. 

Dengan ekspresi yang sama cowok itu menjawab setenang mungkin. "Saya nggak pakai arloji Kak, jadi nggak tau sekarang jam berapa."

"Kenapa bisa telat? Dan kenapa nggak pakai atribut seperti yang lain?" Dany, anggota OSIS yang lain menimpali.

"Tadi kesiangan kak, nggak sempet siapin apa pun."

Anggota OSIS hilang kesabaran. "Hari pertama aja udah kayak gini, gimana besok dan seterusnya. Kalau MOS aja udah nggak disiplin dan nggak nurut perintah, gimana nanti waktu kegiatan pembelajaran."

"Ma'af Kak tapi menurut saya atribut MOS nggak ada hubungannya sama pembelajaran nanti."

Terdengar pekikan tertahan dari para siswi yang duduk berjajar di bawah dengan belasan kepangan rambut. Seketika, terdengar kasuk-kusuk dari segala penjuru.

"Siapa nama kamu?" tanya Dany dengan amarah tertahan.

"Reno."

"Oke, Reno sekarang kamu lari keliling lapangan sepuluh kali."

Grasuk-grusuk semakin jelas terdengar dan Sandra merasa sudah sepatutnya ia melakukan sesuatu.

Gentar sebenarnya menghadapi cowok tegap di hadapannya kali ini. Bukan semata-mata dia berbadan lebih besar dari Reno, juga karena senioritas yang melekat dan seolah-olah tercetak tebal di jidatnya yang lebar. Tapi mengalah akan argumen yang menurutnya benar, sama sekali bukan ciri khas Reno. Ketika ia sudah bersiap berlari mengelilingi lapangan basket di tengah hujan yang menyisakan gerimis. Ia melihat sesosok cewek jangkung menyeruak dari kerumunan para senior. Sejenak, Reno terfokus padanya.

"Tunggu, jangan lari dulu." Reno tahu kalimat barusan ditujukan untuknya.

Sandra bisa merasakan tatapan membunuh yang ditebarkan teman-temannya. Tapi apa yang ia lakukan kali ini juga demi menyelamatkan wajah organisasi mereka.

"Guys, dengerin gue." Sandra merapikan tempo bernafasnya. "Itu anak basah kuyup begitu, nanti kalau dia pingsan kita juga yang repot. Dany, lo bawa baju olahraga kan?"

Remember Me |√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang