CHAPTER 4

1.4K 180 83
                                    

Selain selapis gerimis yang turun pukul sebelas siang tadi. Hari ini cuaca bisa dibilang bersahabat. Namun untuk Sandra rasanya justru aneh. Sehari tidak turun hujan pada musim hujan seperti kali ini rasanya asing sekali.

Sandra bisa dibilang penyuka hujan, ia senang melihat, mendengar, dan merasakan tetesan air hujan. Seseorang pernah berkata padanya bahwa hujan adalah air mata malaikat yang menangiskan dosa-dosa manusia. Namun semakin besar, akhirnya Sandra mengerti bahwa hujan memiliki siklusnya tersendiri, dan sama sekali bukan air mata malaikat seperti yang pernah ia yakini.

Untuk Sandra sekarang, hujan semacam pengingatnya akan masa lalu. Media penyampai rindu. Ada serpihan kenangan yang melelah bersama setiap tetesnya.

Entah sudah berapa bus yang terlewat ketika Sandra tenggelam terlalu dalam oleh lamunannya. Berdiri di depan gerbang sekolah yang semakin lengang, sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa kini sebuah motor telah terparkir di hadapannya, dengan si pengemudi yang memanggili namanya.

Reno menyerah meneriakkan nama Sandra ketika mendapati pandangan gadis itu nyaris kosong. Tiba-tiba saja ia menemukan sosok Sandra yang sangat lain dari yang sebelumnya ia kenal. Keambisiusan yang biasanya memancar dari sorot matanya seperti hilang diterbangkan angin. Garis mukanya yang biasanya tegas lenyap begitu saja, menyisakan seorang gadis ringkih yang butuh perlindungan.

"Ojek neng?"

Seperti orang yang baru terbangun dari tidur panjang. Sandra tampak berusaha menghimpun kesadaran. Dan ketika ia berhasil mengenali situasi, saat itulah Sandra yang ambisius telah kembali.

"Nggak deh bang, nanti disasarin." katanya sambil memandang ke arah lain.

"Nggak akan. Paling saya bawa pulang dulu sebentar. Daripada naik bis mending sama saya gratis."

"Gue nggak suka gratisan."

"Loh, kalau mau bayar saya ya silahkan aja. Tapi saya nggak mau dibayar pakai uang."

Sandra mengerutkan dahi. "Maksud lo pakai daun gitu?"

"Saya minta nomor hp kakak, boleh?" baru kali ini Reno tiba-tiba merasa salah tingkah.

"Nggak ada," Sandra menolak tegas. "yang ada gue yang harusnya minta imbalan, kan lo yang maksa-maksa gue."

"Imbalan ya?" Reno melanjutkan tanpa beban, tanpa berpikir. "Mau peluk boleh, mau cium juga nggak papa."

Sandra mendesis, reflek ia mundur selangkah. Matanya melotot tajam ke arah Reno, memberi peringatan supaya anak itu tidak macam-macam. Dan respon yang diberikan Reno membuatnya tambah keki.

"Jangan grogi begitu dong kak," kata Reno dengan cengiran lebar. "baru kali ini ya ditantang mau dicium sama cowok, ganteng pula."

Sandra bertambah kesal, namun untuk satu alasan pipinya justru memerah, panas. Ucapan Reno yang dikatakan dengan nada main-main itu sukses membuat Sandra salah tingkah. Bahkan untuk mengakui ucapan Reno benar kepada dirinya sendiri sudah sangat memalukan.

"Gini deh, kalau kakak mau pulang bareng saya, saya turutin apapun permintaan kakak."

Keteguhan Sandra mulai goyah, diam-diam ia pempertimbangkan tawaran Reno. "Kalau gue minta lo berhenti ngrecokin hidup gue, lo mau?"

"Kalau maksud kakak adalah ngejauhin kakak udah pasti saya nggak mau, tapi kalau kakak tanya saya sanggup atau enggak.. Saya usahakan ."

Sandra tidak bisa memastikan ucapan Reno sungguhan atau tidak, karena cowok itu keburu memalingkan muka. Sehingga Sandra tidak dapat melihat sorot matanya dan menemukan apapun yang memancar disana. Walau jauh di dalam hatinya Sandra betul-betul ingin melihat apa yang berkelebat di mata Reno, ingin menemukan perasaan apa yang melintas di garis wajahnya ketika ia mengatakan kalimat itu. Dan tiba-tiba saja, sebagian dari dirinya berteriak, mengharap bahwa Reno hanya main-main.

Remember Me |√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang