CHAPTER 22

628 55 18
                                    

Dokter benar saat mengatakan kecelakaan yang dialami Reno tidak parah. Terlepas dari selembar perban yang membungkus pelipisnya, cowok itu sudah bisa dikatakan baik-baik saja sehari kemudian. Ia bahkan sudah berangkat sekolah, sudah nongkrong dengan teman-temannya di warung kopi, bahkan sudah ikut nobar liga champion di pos ronda.

"Reno?"

Sandra sudah datang sejak lama. Hanya saja ia memilih diam sejenak. Memandang punggung Reno di pinggiran atap. Mengulur waktu sejenak, agar ia bisa merasakan kehangatan berada di dekat Reno sedikit lebih lama.

Punggung itu memutar, Reno tersenyum kemudian berjalan menghampiri Sandra. Angin sore yang mulai beringas menghempas rambut Sandra yang terurai. Membuatnya berkibaran. Reno gemas sendiri melihatnya.

"Stay there," ucap Sandra ketika Reno berada empat langkah di depannya. Reno otomatis berhenti, kemudian menatap Sandra penuh tanda tanya.

Sandra menarik napas dalam. "Gue mau ngomong." Begitu kata Sandra selanjutnya. Ia harus to the point kalau tidak mau pertahanannya pacah. "Gue mau-"

Reno menunggu sekian lama, dan Sandra agaknya tidak sanggup melanjutkan apa pun yang ingin diakatakannya. Wajah gadis itu kini tertunduk, dan kalau tidak salah Reno melihat kakinya gemetaran. Reno tidak tega melihatnya demikian, tapi Reno tidak bisa memeluknya. Karena kalau Reno sampai melakukannya, selamanya ia tidak akan mau melepaskan Sandra lagi.

"Gue juga mau ngomong." Reno memasukkan tangannya ke dalam saku, Sandra tidak boleh melihat tangannya bergetar. "Gue minta maaf sebelumnya, tapi gue menyerah berusaha mengingat kita yang dulu."

Sandra tersentak, ditatapnya Reno dengan mata terbelalak. Hatinya lebur.

"Lupakan gue, Sandra. Lo punya masa depan yang gemilang dan gue cuma rintangan yang akan membebani setiap langkah lo. Gue menyerah, dan lo seharusnya juga begitu."

Sepuluh detik yang lalu Sandra sempat berpikir ia yang akan mengatakan kalimat menyakitkan ini untuk Reno. Namun sekarang begitu kalimat itu dikatakan untuknya Sandra merasa hancur.

Dengan sedikit kekuatan yang tersisa Sandra menyeret langkah ke dapan. Memangkas jaraknya dengan Reno. Wajah Reno sudah mengabur karena mata Sandra sendiri sudah digenangi air. Matahari yang sudah hendak tenggelam di ujung barat sana, membuat sosok Reno tinggal sebentuk bayangan di hadapan Sandra.

"Gue juga menyerah, Ren. Sekalian gue mau pamit. Lusa gue berangkat ke Austria, lanjut kuliah di sana. Bokap udah urus ini dari jauh-jauh hari dan gue tinggal jalanin sekarang. Lo baik-baik di sini ya. Apa pun yang lo mau, kejar terus sampai dapat."

"Gue berhak untuk satu pelukan terakhirkan?" tanya Sandra lirih, benar-benar berharap satu kehangatan terakhir untuk kebekuan yang akan berlangsung abadi. Sebentar saja.

Reno sudah hendak menarik keluar tangannya dari kantong celana ketika bayangan akan percakapan terakhir dengan ayah Sandra melintas. Ia pun menggeleng kuat-kuat.

"Maaf, San, gue nggak bisa. Kalo gue memeluk lo sekali aja, gue takut gue nggak akan pernah ngelepasin lo lagi."

Sandra kecewa luar biasa, tapi ia pun mengerti. Karena ia juga merasakan ketakutan yang sama. Maka ia pun melangkah mundur. Menatap sekali lagi wajah Reno, wajah yang akan selalu ia rindukan.

"Pergi ya, San, lo melangkah duluan. Gue nggak mau seolah-olah gue yang ninggalin elo. Pulang ya, berhenti nangisnya."

Reno benar, Sandra harus melangkah lebih dahulu. Biarkan ia yang seolah-olah meninggalkan Reno. Biarkan ia yang berbalik dan membiarkan Reno menatap punggungnya. Setidaknya itu jauh lebih ringan daripada ia yang diharuskan menatap kepergian Reno.

Remember Me |√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang