CHAPTER 10

769 116 19
                                    

Hari ini Dimas sengaja menyisihkan waktu untuk main ke kampus Sandra. Meski berkuliah di universitas yang berbeda mereka tetap menjalin pertemanan dengan baik karena teman-teman seangkatan mereka juga berkuliah di tempat yang sama. Sesekali Dimas sering menghabiskan senggang di kantin kampus Sandra untuk nongkrong dengan Anneke, Dewo, Danny, dan yang lain. Kadang juga sebaliknya. Sandra yang menyempatkan diri mengunjungi kampus Dimas yang letaknya hanya terpaut beberapa belas kilometer.

Dimas menempati bangku panjang di taman fakultas seni sastra dan budaya. Di bawah pohon akasia yang pucuk-pucuknya mulai mengembang. Kelas Sandra baru akan berakhir sepuluh menit lagi. Dimas sama sekali tidak berkeberatan menunggu.

Kelasnya yang kebetulan menghadap pada taman di fakultasnya membuat Sandra bisa menemukan Dimas dengan mudah. Cowok tinggi-besar itu tengah duduk di salah satu bangku panjang. Menekuri ponsel yang tergenggam di tangannya. Tadi pagi ia sudah di-sms akan kehadiran Dimas dari yang bersangkutan langsung.

"Udah lama nunggu?" tanya Sandra dengan nada ceria kemudian duduk di samping Dimas yang segera menyadari kehadirannya.

"Hai, Engg-" senyum yang sudah siap Dimas lemparkan tertahan kembali. Berganti dengan raut kekhawatiran yang miris. "muka lo San."

Sandra mengerti apa maksud Dimas. Seingatnya ia sudah mengompres matanya dengan irisan timun tadi pagi.

"Lo sakit?" tanya Dimas lagi. Pertanyaannya diartikan Sandra dengan harfiah.

"Gue baik-baik kok."

Dimas menggeleng. "Maksud gue bukan itu. Gue udah tau soal Reno."

Sandra bahkan belum bercerita apapun kepada Anneke. Ia sempat melupakan fakta bahwa Farid adalah sepupu Dimas. Anak itu pasti sudah cerita.

"Lo yakin sama keputusan lo?"

Sandra terdiam, kemarahannya tahu-tahu menggelegak. Memenuhi hatinya seperti kran air yang mengucur deras. Ia marah kepada dirinya sendiri yang dengan mudahnya, tiba-tiba saja meragu akan keputusannya sendiri hanya karena satu pertanyaan itu. Sandra mengepalkan tangan, berusaha mengalirkan kemarahan itu ke tangannya kemudian menggenggamnya erat sampai remuk.

"San," panggil Dimas penuh pengertian. "lo nggak pa-pa?"

"Dim, benar atau tidaknya keputusan gue, menyesal atau tidaknya gue nanti.." suara Sandra turun menuju oktaf terendah. "Tolong tetap jadi teman gue. Just stay here, in my side."

Bukan permohonan itu yang membuat bulu kuduk Dimas sampai meremang. Namun cara Sandra mengucapkannya-lah yang terdengar pilu sampai membuat tulang-tulang Dimas terasa ngilu. Seolah kini gadis itu hanyalah raga yang menyisakan sekeping pecahan nyawa, dan atas nama nyawa itulah gadis itu memohon.

"Pasti." Dengan segenap hati Dimas menjawab. Meredam egonya yang tiba-tiba ingin mendominasi.

Pelan, senyum itu terbit di wajah Sandra. "Mau bantuin gue nggak?"

"Asal nggak melanggar pasal negara." Dimas menertawai guyonan jayusnya sendiri.

"Bikin puding cokelat kesukaan Reno, kata Farid mereka mau main futsal di deket kampus kita." Nada antusias dalam suara Sandra tak terbantahkan. Menandaskan fakta bahwa beberapa menit yang lalu gadis itu seperti orang siap mati.

"Di rumah lo?"

"Di istana negara," kata Sandra sarkastis. "menurut lo aja deh."

"Bukan gitu, bokap lo kan nggak lagi di rumah. Gue sih no problemo tapi kalo lo difitnah yang bukan-bukan sama tetangga lo, gimana?"

Sandra mengangkat bahu. "Peduli apa sih sama mulut-mulut yang lebih pedes dari keripik maichi itu? Nanti gue suruh Amel ikutan deh."

Merasa sudah tidak ada lagi yang perlu dipermasalahkan, mereka meluncur menuju rumah Sandra dengan mobil Dimas. Meski susah payah membangun percakapan di antara meraka, Dimas akhirnya menyerah juga. Ia pun menyalakan kaset pada CD mobil, berusaha tenggelam dalam petikan gitar listrik Linkin Park. Sama halnya dengan Sandra yang sejak tadi tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tak terjamah.

Remember Me |√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang