EPILOG

1K 71 33
                                    

Pernah hampir enam tahun yang lalu, Reno berdiri sendirian di aula sekolahnya yang belum selesai di bangun. Saat itu waktu masih teramat pagi, dan ia rela naik ke lantai dua hanya untuk melihat awan-awan secara lebih dekat. Tapi yang terjadi betul-betul di luar dugaan, ketika angin menghembus lebih kencang Reno mendengar suara berderik dari atap yang baru setengah jadi. Reno mendongak, bunyian itu beruntun dan semakin keras. Ia tahu beberapa bagian dari atap itu akan jatuh, menimpa tubuh atau bahkan kepalanya. Tapi Reno tidak berlari padahal ia punya beberapa detik untuk berlari atau setidaknya menyingkir dari jalur meluncurnya kayu pasak.

Lalu ketika Reno mengedipkan mata, sebongkah kayu dan batako menghantam kepalanya. Telak. Dan sebelum pingsan Reno sempat tersenyum miring. Satu hal yang ia sadari bahwa, ia bisa bertindak bodoh karena keterkejutan. Kejadian yang sama terulang sekarang. Di pesta pertunangan Gita.

"Sandra?" Pertanyaan itu Reno ajukan bukan untuk perempuan di hadapannya, melainkan untuk dirinya sendiri. Karena saat ini, Reno merasa ilusi dan kenyataan melebur dalam satu dimensi di kepalanya.

Sandra tidak menjawab, karena tidak bisa bicara. Sandra tidak mengangguk, karena ia tidak bisa bergerak. Hal itu membuatnya percaya bahwa laki-laki di hadapannya ini benar-benar Reno. Laki-laki yang selalu bisa merampas suara dan geraknya dalam sekali pandangan mata.

Sadar mereka bisa menjadi pusat perhatian, Reno menggenggam tangan Sandra dan mengajaknya ke luar venue. Di teras yang terhubung dengan taman bugenvill bersinarkan lampu halogen itu mereka berdampingan. Kaku.

"Saya belum salamin Gita." Kalimat itu yang pertama kali meluncur dari mulut Sandra.

Reno tertawa, suara Sandra masihlah menyenangkan. Laki-laki itu memegang bahu Sandra dan memutarnya sehingga mereka kini berdiri berhadapan.

"Kapan kamu pulang?" Sederhana sekali pertanyaan Reno. Tapi jika kalian mendengarnya secara langsung, kalian akan menemukan jutaan luapan emosi yang tertahan.

"Kemarin baru sampai," kata Sandra, selain menjawab pertanyaan Reno ia tidak tahu lagi apa yang harus ia katakan.

"Saya senang kamu pulang."

"Saya juga senang bisa ketemu kamu," kata Sandra akhirnya.

Ada hening yang tercipta sekian lama. Dalam kecangguan pikiran mereka bergemuruh. Tidak tahu lagi apa yang harus dikatakan, Sandra pamit untuk menemui Gita. Tapi tanpa sadar tangan Reno menahan sikunya. Memaksa Sandra kembali menemukan mata hitam yang dinaungi alis tebal milik Reno. "Kenapa kamu pulang?"

Reno takut menanyakan itu, takut mendengar jawabannya. Tapi ia tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Untuk apa Sandra pulang? Untuknya? Untuk siapa? Selamanya-kah? Atau ia akan pergi lagi?

"Saya dapet undangan tunangannya Gita, saya pikir kamu yang akan tunangan sama Gita, tapi ternyata ... bukan." Meski ditahan nada bahagia itu terdengar jelas.

"Oh ... itu, nama saya sama tunangannya Gita kebetulan sama. Tapi nama belakangnya nggak sama kok."

Kebekuan itu perlahan mencair.

"Tapi di undangan yang saya terima nggak ada nama belakang."

Reno mengerutkan dahi. "Oh ya? Saya juga nggak tau, kebetulan saya nggak ikut ngurusin soal undangan."

Sebelum suasana cair kembali membeku Gita datang bersama tunangannya. Memeluk Sandra erat-erat. "Saya nggak nyangka Kak Sandra mau dateng. Saya seneng banget."

Diserbu seperti itu tak ayal membuat Sandra terkejut. "Saya juga seneng bisa hadir ke sini. Selamat ya. Saya salut, kamu masih muda tapi udah seberani ini. Kamu keren, Ta." Sandra mendorong Gita keluar dari pelukan.

Seingat Sandra dirinya dan Gita tidak pernah menjadi akrab namun entah karena apa malam ini ia melihat Gita seperti seorang adik yang telah lama terpisah.

Gita tersipu. "Kalo bukan dipaksa sama Tuan ini juga aku nggak berani, Kak. Belum siap ... belum yakin juga." Gita menyodok rusuk tunangannya dengan siku.

"Oh ya, nama mereka sama loh, Kak." Gita melirik Reno dan tunangannya bergantian. "Cuma yang ini, Reno Dewantara bukan Reno Alvaro," terang Gita

Sandra mengangguk paham.

"Loh ... bukannya kamu yang ngebet minta buru-buru diikat. Takut akunya berpaling," kata Reno Dewantara renyah.

"Loh jadi yang bener siapa nih?" Sandra menatap Gita dan tunangannya bergantian. Mereka benar-benar serasi. "Anyway, siapa pun yang ngebet duluan, selamat buat kalian berdua. Kalian serasi sekali."

Sandra menjabat tangan Reno Dewantara. "Makasih, Kak. Semoga bisa cepat nyusul." Reno melirik lak-laki bernama sama dengannya sekilas, kemudian pamit ke dalam lagi bersama Gita.

Lagi, yang tinggal hanya Reno, Sandra, dan kenangan yang bangkit satu persatu. Tahu Sandra akan lelah berdiri, Reno mengajak Sandra melangkah ke taman dan duduk di bangku panjang, tepat di bawah lampu halogen.

"Kamu apa kabar?" tanya Reno.

"Baik." Sandra memindai sekilas sosok Reno. "Kamu sepertinya juga baik."

"Tapi nggak pernah sebaik sekarang, San." Sudah lama sekali Reno ingin mengatakan ini. "Jujur, saya kehilangan kamu. Saya kesepian, saya selalu menyesali hari dimana saya melepas kamu, atau lebih tepatnya hari dimana kamu ninggalin saya. Harusnya waktu itu saya memeluk kamu, harusnya saya jujur kalo waktu itu saya udah inget semuanya. Harusnya saya meminta kamu untuk berjuang bareng-bareng, nggak peduli walaupun kita harus LDR, harusnya saya lebih berani, maafin saya."

Dalam sekali pengakuan itu dibuat. Sandra mendengarnya, Sandra juga merasakan luka-luka yang Reno simpan sendirian.

"Kamu menyesal Ren?" Untuk pertama kali semenjak di taman, Sandra berani mengawali kontak mata. "Kamu menyesal ingatan kamu kembali? Menyesal mengingat saya lagi?"

"I've never regret on you, on our memorize. Bagi saya lebih baik tersiksa oleh kenangan kita, daripada saya nggak mengingat apa-apa tentang kamu. Kamu orang yang berharga dalam hidup saya. Saya senang kamu sudah berhasil dengan mimpi kamu."

"Mimpi saya nggak pernah lengkap tanpa kamu, Ren." Reno terkejut mendengar Sandra berkata begitu. Tapi Sandra lebih terkejut lagi, namun bahkan untuk menghentikan dirinya sendiri Sandra tak kuasa. Sejak kapan emosi ini ingin disampaikan?

"Perjuangan saya di Wina bukan main-main, saya sering kelelahan, saya sakit, saya kerja keras, saya pusing, saya terluka, bahkan sering kali saya rasanya mau menyerah, dan kamu tau siapa yang pertama kali melintas di kepala saya tiap kali saya ingin menyerah ... Kamu."

"Saya selalu ingin ketemu kamu lagi. Tapi saya yang menyerah, nggak pantes untuk ketemu kamu lagi. Jadi setiap malam sebelum tidur saya selalu mengkhayal tentang saya yang sudah berhasil, lalu berlari ke arah dimana lengan kamu selalu merentang lebar, dan siap memeluk saya."

"Tangan saya, pelukan saya selalu terbuka buat kamu. Kapan pun, seperti apa pun itu. Entah kamu sebagai seorang perempuan biasa, atau perempuan yang hebat dengan mimpi-mimpi kamu. Entah kamu sedang bahagia, sedih, marah bahkan ketakutan. Kamu bisa berlari ke sini, bersama saya, saya janjikan kamu akan baik-baik saja."

Tidak ada kata-kata 'aku mencintaimu selamanya' malam itu. Tapi apa yang dikatakan Reno barusan jauh lebih berharga dari kata-kata paling romantis di dunia. Sandra ingin percaya tapi sebagian hati kecilnya ketakutan. Takut untuk terhempas dari awan harapannya yang tinggi. Namun ketika Reno merengkuh bahunya, ketika kepalanya lebih dekat dengan detak jantung Reno berada. Sandra seolah diyakinkan, ia akan selalu bangkit setiap kali jatuh, akan tersenyum lagi setiap kali menangis, akan bahagia lagi setelah bersedih, yang pasti di dekat Reno dirinya akan baik-baik saja. Dan meski gentar, kepada Reno, Sandra menjanjikan hal yang sama.

-END-

 

Remember Me |√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang