CHAPTER 16

674 72 34
                                    

Seperti yang sudah direncanakan. Kepulangan ayah kali ini bersifat permanen. Usaha tekstil sahabat ayah yang juga merupakan tempat ayah bekerja akan membuka cabang di Jakarta. Maka di sana pula ayah akan dipindahkan.

Malam ini Sandra terjaga hingga larut. Terduduk tegak dengan selimut tersampir sebatas lutut. Mendengarkan detikan jam dinding yang berbunyi konstan dan menjenuhkan. Hatinya gelisah, pikirannya tidak tenang. Itu yang membuat matanya enggan menutup. Membuat tubuhnya menolak diistirahatkan meski faktanya lelah luar biasa.

"Belum tidur, Nak?" Pertanyaan Ayah diikuti ketukan di pintu kamar Sandra. Beliau selalu tahu bahwa Sandra tidak pernah bisa tidur dengan lampu menyala.

"Belum Yah. Masuk aja, nggak dikunci."

Ayah membuka pintu jati itu. Berjalan mendekat dengan setelan piyama batik. Dari matanya yang sayu Sandra mengira beliau tadinya sudah tertidur.

"Nggak bisa tidur?" Ayah naik ke atas ranjang. Duduk di samping Sandra sambil memandang objek yang sama. Langit kosong di luar jendela.

"Kata orang jaman dulu, kalau kamu susah tidur di malam hari, itu artinya ada yang sedang memimpikanmu," kata Ayah. "kalau memang benar, kamu ingin berada di mimpi siapa?"

Sandra menarik ke atas selimutnya sampai dagu. "Aku nggak ingin ada di mimpi siapa pun, Yah. Aku nggak ingin cuma jadi sebatas mimpi. Aku mau jadi kenyataan," Sandra melanjutkan dengan sebuah bisikan. "Aku mau diingat."

"Kamu menyesal?" tanya Ayah halus.

Sandra memijat pangkal hidungnya, berusaha menyingkirkan pening di kepala. "Aku nggak tau, aku hanya berpikir bahwa semua ini nggak seharusnya terjadi. Sejak Reno hilang ingatan aku merasa semua jadi nggak tepat lagi, dan pilihan yang aku ambil rasanya nggak memperbaiki apa pun."

Ayah menggosok bahu Sandra ringan. "Kamu nggak perlu menyesal kalau dari awal pilihan yang kamu ambil benar-benar keputusanmu sendiri, tanpa paksaan siapa pun. Tapi setelah itu kamu juga harus menyelesaikan pilihanmu."

Sandra melingkarkan lengannya ke sekeliling lutut erat-erat. Seolah mencegah tubuhnya supaya tidak hancur menjadi kepingan.

"Kamu mengerti apa yang Ayah katakan tadi?"

Sandra mengangguk, namun hatinya menolak. Terakhir, ia merasakan Ayah memeluknya di bahu. Dan untuk pertama kalinya, Sandra mengerti bagaimana rasanya patah hati. Trust me, it's feels so bad.

Skip

Taruhan el-clasico malam itu berakhir dengan kemenangan untuk Real Madrid yang artinya memenangkan Reno. Maka sebagai konsekuensi Gita harus bersedia pulang sekolah bareng Reno, menemaninya makan ketika di kantin, atau membawakan air mineral di tepi lapangan saat Reno main futsal. Intinya, Reno ingin dekat-dekat dengannya, tapi percayalah Gita melakukannya tanpa keberatan berarti.

Pagi ini, ketika Gita hendak masuk kelas ia mendengar namanya dipanggil. Dari koridor selatan ia melihat Reno berlari ke arahnya.

"Kenapa harus lari-lari sih?" Berada di dekat Reno selalu saja membuatnya jadi pusat perhatian, terlebih jika Reno berlari seperti tadi. Suara berdebam ketika kakinya menghantam lantai membuat berpasang-pasang mata serentak mengikuti sosoknya.

"Kan udah mau masuk." Reno nyengir sambil mengatur nafas.

"Makanya jangan berangkat terlalu siang."

Reno tidak mendengarkan. Ia menarik keluar notebook milik Gita dari tasnya. Kemudian memberikannya pada sang pemilik.

"Udah saya baca. Isinya keren banget."

Gita tersenyum sambil menerima notebook yang disodorkan Reno.

"Makasih." tambah Reno kemudian.

Remember Me |√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang