CHAPTER 13

670 99 24
                                    

Butiran air hujan menghantam sedan hitam yang dikendarai Dimas tanpa ampun. Meleleh pada kaca mobil sebelum dihapus oleh wiper yang bergerak konstan sejak lima belas menit yang lalu. Di sampingnya, cowok itu mendapati Sandra yang terlelap dengan pipi menempel pada kaca jendela. Tampak nyenyak meski kenyataannya ia tertidur di tempat dan waktu yang salah.

Terjebak di tengah kemacetan akibat jalanan yang digenangi air adalah hal yang mungkin tidak diinginkan oleh siapapun. Ditambah dengan rentetan klakson kendaraan yang seperti ingin meledakkan telinga. Dingin, pusing. Tapi menyadari bahwa Sandra berada di sampingnya memberikan efek menenangkan melebihi cokelat panas untuk Dimas. Melihat Sandra dalam balutan gaun toska panjang berenda dan pulasan make-up sama sekali bukan kebiasaan Dimas, maka dari itu Dimas ingin menikmati momen ini dengan baik.

Momen dimana ia bisa benar-benar menjadi dirinya sendiri, momen dimana ia bisa menatap Sandra dengan cara yang berbeda tanpa takut akan ada yang berubah. Dan tanpa dapat dicegah Dimas mengatakan segalanya.

"Hidup ini lucu ya, San." Dimas tersenyum sendiri, dieratkan pegangannya pada setir mobil. Kata lucu yang ia ucapkan bermakna ironi.

"Empat tahun lalu kita pertama kali ketemu, sama-sama dijemur di lapangan kayak ikan asin sama kakak OSIS. Saat itu, gue melihat lo sebagai cewek introvert yang pemalu. Sampai akhirnya kita jadi teman sekelas, sampai lo nyalip nilai gue. Sampai secara nggak resmi kita jadi rival." Dimas tersenyum lagi, masa putih abu-abu selalu menyenangkan untuk dikenang.

"Saat itu gue melihat lo sebagai cewek ambisius yang menginginkan jabatan dan popularitas tapi di saat yang sama gue menemukan sesuatu di mata lo. Sisi kelam yang lo tutup rapat-rapat. Sampai kita jadi rival kandidat ketua OSIS. Sampai gue berhasil ngalahin lo dan kita justru jadi teman dekat. Sampai Anneke menceritakan semuanya. Dan saat itulah gue melihat lo dengan cara yang berbeda, sebagai Sandra yang kuat dan mandiri. Sebagai Sandra yang sesungguhnya. Di saat yang sama gue juga menyadari ada yang berbeda dengan diri gue sendiri, sampai Reno hadir dan mendahului gue. Sampai dia bikin lo bahagia dengan caranya sendiri."

Bahkan di telinganya sendiri, nada bicara Dimas terdengar semakin miris. Ia pun menertawai diri sendiri. "Ternyata, jatuh cinta itu seperti efek metoksida ya, San? Bikin kebakar sekaligus mati rasa di saat yang sama. Kita baru tahu kalau kita jatuh cinta di saat kulit kita udah pada melepuh."

"Tapi San, apapun yang terjadi, kemanapun hidup membawa kita nanti gue cuma mau lo tau satu hal. Gue akan selalu berjuang buat lo. Dan gue mohon sama lo jangan pernah nyuruh gue berhenti karena gue akan berhenti dengan sendirinya ketika gue udah nggak punya harapan lagi. Dan selama lo ada di samping gue, gue merasa harapan itu masih ada. So always be my side."

Malam itu Dimas ingin hujan abadi. Mengguyur bumi untuk selamanya. Malam itu yang Dimas tahu tidak ada apa-apa lagi, tidak ada cerita lain lagi. Yang ada hanya cerita tentang ia, Sandra, dan hujan.

Skip

Hujan semalam menyisakan genangan air di lubang-lubang jalan. Menyisakan titik-titik air di rerumputan dan ranting-ranting pohon. Sial bagi Gita yang harus berangkat sekolah naik bus karena bapak tidak bisa mengantar. Sial baginya yang harus turun di halte yang letaknya masih lumayan jauh dari sekolah dan terpaksa berjalan kaki. Sial karena ketika di perjalanan ia terkena cipratan air keruh akibat mobil yang ngebut saat melewati genangan air.

Seolah itu semua belum cukup, ketika sampai di halaman sekolah ia terpeleset oleh paving berlumut. Jatuh sempurna dengan posisi bokong menghantam paving lebih dahulu. Gita meringis menahan sakit yang rasanya menyebar ke seluruh tubuh. Sambil menumpukan berat badannya pada tangannya yang ditekankan ke bumi, Gita berusaha bangkit. Namun dua kali percobaan berakhir sia-sia. Ia baru menyadari betis kanannya memar.

Remember Me |√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang