CHAPTER 11

692 110 38
                                    

"Gue mohon guys, kali ini aja kalian berkorban buat kelas kita." Jessica membunyikan permohonan yang sama. Yang sudah ia katakan berkali-kali kepada ke-5 cowok di hadapannya. Dan reaksi yang ia dapatkan pun tak pernah berubah dari dua puluh menit yang lalu.

"Lo kata kita kambing gitu mau dikurbanin. Idul Adha masih jauh kali." Jerry meggenjreng ukulele yang ia bawa dari rumah di ujung kalimatnya.

"Udahlah Jes, lo tuh udah pinter nggak belajar PKN dua minggu nggak akan bikin lo tinggal kelas." Bowo menimpali.

Lagi, mata pelajaran yang diempu Bu Sumi itu menjadi perdebatan hangat. Mingggu ini sudah masuk pertemuan kedua yang ditinggalkan ibu guru killer itu. Dan seorang Jessica sudah mirip orang kebakaran jenggot. Berbanding terbalik dengan sebagian besar penghuni kelas yang adem ayem. Masalah pokoknya disini bukan semata-mata karena Bu Sum killer tapi lebih kepada Pak Mardi yang mengajar mata pelajaran Ekonomi tepat setelah jam pelajaran Bu Sumi berakhir. Nah, Pak Mardi ini adalah tipe guru yang gemar memberikan pekerjaan rumah minimal lima soal setiap minggu, yang masing-masing soal bercabang menjadi lima soal lagi. Jawaban harus ditulis di kertas folio bergaris beserta soal-soalnya. Kan lumayan kalau jam pelajaran Bu Sum bisa dibajak untuk mengerjakan tugas dari Pak Mardi.

"Nih, Jes, dengerin gue." Farid berlagak menasihati. "Percuma lo belajar giat-giat, percuma lo dengerin semua penjelasan guru-guru. Coba deh lo bayangin kalo tiba-tiba nanti lo pulang terus kecelakaan, atau kepala lo kebentur meja terus lo amnesia kayak Reno. Ujung-ujungnya semua ilmu yang lo serap seumur hidup bakalan sia-sia. Percuma." Farid menekankan kata terakhir yang ia ucapkan. Dan seperti domino roboh yang lain mengiyakan begitu saja.

Jessica betul-betul ingin menangis sekarang. Dibalikkan badannya serta merta dan kembali terduduk di bangkunya. Anak-anak perempuan segera mengerubungi Jessica yang sudah terisak bertumpukan lengan di mejanya. Jessica menangiskan kekesalan yang sudah mengendap sekian lama, kekesalan pada cowok-cowok resek itu juga kekesalan akan diri sendiri. Dulu ketika pertama kali mengetahui ia ditempatkan di kelas yang sama dengan tukang rusuh itu Jessica justru merasa excited. Bahkan wali kelasnya sempat menyarankan Jessica untuk pindah ke kelas belajar yang lain, yang kemudian ditolaknya dengan halus.

Kepercayaan dirinya melampaui kekuatan yang ada. Jessica yang na'if berpikiran bahwa ia adalah seseorang yang terpilih. Seseorang yang ditugaskan untuk menyelamatkan anak-anak itu. Kepalanya telah didoktrin film-film Disney sama halnya dengan pola berpikirnya yang diracuni alur FTV. Sampai akhirnya ia tahu bahwa kenyataan dan Film Disney berada dalam dimensi yang berlainan. Golok mana golok..

"Lah itu anak nangis beneran," kata Jerry. "ngrepotin aja. Tanggung jawab, Jang!"

Jajang mengangkat bahu. "Kenapa gue? Kan si Farid yang bikin nangis."

"Gue nyolek aja kagak." Farid mengelak. "Tunggu pawangnya aja deh."

Tidak lama berselang sang pawang yang dimaksud betulan datang. Dengan rambut setengah disisir dan setengahnya lagi diobrak-abrik angin, Reno melangkah masuk ke kelas dengan tampang tanpa dosa meski faktanya ia terlambat setengah jam dari yang seharusnya.

"Itu cewek-cewek lagi pembagian sembako ya?" tanya Reno setelah melewati bangku Jessica.

"Jessica nangis," jawab Bowo enteng. "lo darimana baru dateng? Terus kok bisa masuk?"

"La wong yang jaga gerbang Pak Usep si tukang molor." Reno meletakkan ranselnya. Duduk di bangkunya dengan satu kaki dinaikkan. "Bayu nge-chat gue katanya nggak masuk. Kepalanya benjut abis kena timpuk gagang sapu gara-gara itu anak nyolong mangganya Pak Wijil. Pas balik itu anak ngadu ke emaknya, eh malah ditambahin. Katanya sih sampe punggungnya kayak sundel bolong digebukin sapu lidi."

Remember Me |√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang