CHAPTER 23

724 58 12
                                    

Sudah ke sekian kalinya Sandra menyaksikan salju turun di bumi Wina. Menutupi halaman kampusnya seperti gunung kecil, membungkus atap-atap rumah, dan berterbangan seperti gula-gula ketika terhempas angin. Namun rasa kagum Sandra tidak juga surut.

Kehidupannya di Austria jauh berbeda dengan rutinitasnya dulu di Indonesia. Disini, waktu seringkali bergulir terlalu cepat, membuat Sandra tertinggal dan terjerat kakinya sendiri. Persaingan di bangku kuliahnya teramat sengit, ketat, dan keras. Apalagi di jenjang masa pascasarjana yang ditempuhnya saat ini. Awalnya Sandra kira bahwa gelar masternya akan lebih mudah didapat ketimbang jatuh bangunnya mendapatkan gelar sarjana dulu tapi nyatanya tidak sama sekali. Bebannya bertambah berat, tugas dan tuntutan yang ia peroleh terasa berlipat-lipat.

Sandra sudah menghabiskan enam tahun hidupnya untuk menciptakan jejak kaki di negeri Eropa Tengah ini. Tiga tahun ia membanting fisik, pikiran, dan jiwanya untuk meraih gelar sarjana, kemudian satu tahun berikutnya ia mengajar les musik anak usia dini di salah satu bimbingan musik yang lumayan besar. Saat itu Sandra juga mulai merintis karir bermusiknya sedikit demi sedikit, ia mulai menjatuhkan diri dalam arus kompetisi instrumental Austria yang tidak tertebak. Sandra juga rajin berkarya di media YouTube. Dari situ ia mulai dikenal orang, melodi gubahannya yang segar dan manis mulai banyak dinikmati, membuat nama 'Casandra' semakin tenar di kalangan penikmat musik instrument terutama piano.

Satu tahun berikutnya Sandra berhenti mengajar dan benar-benar fokus pada karir bermusiknya. Ia mulai menyiapakan tour ke beberapa daerah di Austria. Impiannya untuk bisa manggung di Jerman memang terasa tinggi, namun Sandra yakin itu tidak mustahil. Ia terus melebarkan relasi, terus memperbanyak karya. Sadar bahwa pendidikannya belum cukup untuk melunasi ambisinya Sandra mengambil program pascasarjana setahun berikutnya. Dan di situlah hidup Sandra berputar dalam enam tahun terakhir, berpusar pada ambisi dan cita-citanya. Ambisinya memenuhi setiap hidup Sandra, membuat tidak ada ruang untuk perasaan yang lain.

Lalu salju turun untuk menyadarkan Sandra. Lalu salju turun untuk mengajari Sandra tentang dingin yang mengkristalkan. Lalu salju keenam membuat Sandra meraba hatinya sendiri. Sudah sejak kapan kenangan itu mengkristal di sana?

Laki-laki di hidup Sandra datang dan pergi. Wina memberinya beberapa persinggahan hati tanpa meninggalkan bekas apa-apa. Segalanya dimulai lalu berakhir begitu saja. Tapi kristal yang satu itu berbeda. Ia tidak dikristalkan oleh salju Austria, melainkan diabadikan oleh petang di atap kampus Sandra dulu. Saat ia merasa begitu dekat dengan langit namun ditakdirkan untuk tidak bisa meraih bintang.

Sandra memilih untuk tidak pernah pulang ke Indonesia, jika rindu Ayah yang akan menyusulnya ke mari. Sandra memilih untuk tidak punya kesempatan bertemu Reno, meski diam-diam merindu, meski diam-diam terus mencari tahu, meski diam-diam mencari kabar. Sudah lama sekali rasanya, semenjak Sandra memutuskan untuk mencintai Reno dalam diam. Dan entah untuk sampai kapan.

Sandra memilih untuk tidak menanyai hatinya sendiri, juga tidak ingin memperoleh jawaban. Walaupun ia selalu tahu apa yang dirinya sendiri mau. Sandra memilih untuk mengedepankan logika, mengedepankan pikiran entah sehebat apa pun dorongan yang sebetulnya ia rasakan. Sampai suatu hari Kalila – kenalannya satu apartemen dengannya di Wina- yang kadang kala merangkap sebagai manager tour Sandra bertolak kembali ke Wina setelah berlibur selama tiga minggu di Indonesia. Hingga undangan pertunangan itu sampai di tangan Sandra. Dan untuk pertama kalinya, Sandra dipaksa berhadapan langsung dengan sesuatu yang selama ini begitu ia hindari. Pertanyaan hati mewujud begitu saja di hadapan Sandra, jelas, membesar, lurus-lurus. Menuntut jawaban.

Sandra mengeja baik-baik nama yang tertera pada undangan itu. Reno dan Gita ... ia mengulangi ... Reno dan Gita. Sandra terus mengulang. Lalu undangan itu jatuh meluncur dari tangannya, dan gadis itu berlari keluar apartemen. Menantang dinginnya salju dengan hangat tetes air matanya.

Remember Me |√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang