CHAPTER 3

1.5K 218 146
                                    

Selamat dari hukuman lari keliling lapangan 10 kali, sama sekali tidak lebih buruk daripada disuruh membawa rujak mangga muda besok pagi ke sekolah. Parahnya lagi wakil ketua OSIS itu menyuruh Reno membeli dengan tangannya sendiri, yang harus didokumentasikan lewat foto dan ditunjukkan padanya.

Reno melepas sneakers hitam bertali putih yang membungkus kakinya. Masih dengan baju olahraga kebesaran hasil pinjaman dari kakak kelasnya, ia menghempaskan tubuhnya ke sofa panjang berlengan di ruang tengah. Merasakan tekstur busa yang menelan tubuhnya seketika membuat Reno ingin terlelap. Namun suara derap langkah yang kian mendekat seketika membuatnya kembali terjaga.

Adalah mama, dengan daster lusuh selutut dan rambut tergulung rol besar-beasar menghampiri anaknya dan menagih cerita selama seharian di sekolah seperti biasa. Entah kapan tepatnya, Reno sendiri sudah tidak ingat. Yang jelas rutinitas seperti ini terasa sudah mendarah daging di antara ia dan mamanya. Mama akan selalu menyempatkan diri duduk di ruang tengah setiap jam pulang sekolah. Mendengar Reno bercerita tentang apa saja. Meski sering kali yang terdengar hanya keluh kesah tentang PR yang menumpuk atau guru killer.

Dulu sewaktu beranjak masuk SMP, Reno sempat keberatan dengan kebiasaan ini. Seriring usia yang bertambah ia merasa rasa ingin tahu mama terhadap dirinya benar-benar mengganggu. Ia merasa saat menjalani masa pubertas dirinya mulai memiliki privasi yang bahkan mamanya tidak berhak tahu. Terlebih sebagai seorang anak laki-laki ia tidak ingin dicap anak mama.

Sebulan setelah ia menolak bercerita lagi kepada mamanya, mama dan ayah harus keluar kota untuk menghadiri pernikahan keponakan ayah. Di saat seperti itulah rasa sepi mulai menyapa, kerinduannya akan mama muncul ke permukaan, dan kesadaran serta penyesalan menyeruak bersamaan. Belum terlambat untuk menyadari bahwa ada kelegaan yang terasa ketika ia bercerita tentang nilai ulangan yang hancur, ekskul sepak bola kesukaannya, debar jantung yang tak keruan ketika anak baru itu lewat di hadapannya. Ada kehangatan dan haru ketika mama rela mendengarkannya berlama-lama walau dengan kantuk yang memberatkan mata.

Sejak itu Reno tahu, tidak seharusnya ada rahasia di antara mereka. Seperti halnya tidak seharusnya ada jarak di antara seorang ibu dan anak laki-lakinya.

"Gimana MOS hari pertama?" tanya mama, beliau mengambil tempat duduk tidak jauh dari Reno.

"Ancur ma." jawab Reno sekenanya. Ia lantas menyandarkan kepalanya di lengan kursi. "Beli rujak mangga dimana ya, ma?"

Mama tampak terkejut. "Loh kamu lagi kepingin rujak? Biar mama buatin deh, tapi nggak pakai mangga muda ya, susah nyarinya."

"Orang Sandra maunya pakai mangga muda."

Mama memekik tertahan. "Reno! Sandra itu siapa? Dia ngidam? Hamil? Astaga nak, kamu baru lulus SMP. Mama nggak pernah ngajarin kamu cabul."

Mama terlihat ingin menangis. Sementara Reno mengernyit antara kesal dan heran.

"Ma apaan sih? Sandra itu seniorku, dia nyuruh Reno bawa rujak mangga ke sekolah sebagai hukuman karena aku telat tadi pagi."

Mama menyeka air di sudut mata tuanya. "Oh kirain, coba cari di rumah Pak Rw gih, mama denger istrinya jualan rujak. Tapi nggak jamin ada mangga mudanya sih, kan masih baru musim."

Reno mengangguk skeptis, tampak tidak terlalu berharap.

Skip

Sandra berhutang penjelasan tidak hanya kepada teman-temannya, tapi juga kepada dirinya sendiri. Menyelamatkan anak laki-laki bernama Reno itu ternyata menggoyahkan kredibilitasnya sebagai wakil ketua OSIS sekaligus ketua redaksi mading. Ganti hukuman yang ia berikan rupanya tidak memuaskan kehendak teman-temannya.

Remember Me |√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang