CHAPTER 14

636 89 21
                                    

Meski sudah condong ke arah barat, Sandra masih merasa kulitnya terpanggang ketika ditimpa sinar matahari. Entah untuk yang keberapa kali punggung tangannya mengusap peluh yang merembesi wajahnya. Sandra tidak pernah terbiasa berdiri dalam jangka waktu yang lama, tidak pernah terbiasa dengan keramaian, tidak pernah terbiasa menunggu antrian. Namun sekarang ia tengah melakukan ketiganya.

Sudah hampir dua puluh menit lamanya Sandra menjadi bagian dari barisan mengular di depan salah satu loket stadion GBK. Berpanas-panas ria bersama ratusan penggemar bola lainnya. Beringsut selangkah demi selangkah setiap kali satu orang di ujung depan memperoleh tiket. Sandra sendiri sepertinya masih lama karena tempatnya mengantri sekarang tergolong di belakang.

Sandra mengeluarkan iPodnya dari saku jogger pants yang ia kenakan. Memasangkan earbuds ke telinga sambil menyalakan lagu secara asal-asalan. Apapun itu, asal suara semrawut di sekelilingnya hilang. Supaya pikirannya bisa lebih jernih.

Sandra terkesiap ketika merasakan sebuah tepukan hinggap di bahunya. Sambil memejamkan mata ia menarik ke depan tas selempangnya. Mengamankan beberapa benda berharga disana. Ia bersumpah kalau tangan itu masih saja menempel di pundaknya lebih dari lima detik ia akan berteriak.

"Mbak."

Sandra tidak mendengar penggilan itu, tentu saja. Ia juga sudah berubah pikiran. Sandra tidak akan berteriak, justru kini ia membalikkan badan. Mengangkat tas selempangnya tinggi-tinggi. Bersiap memukuli siapapun yang tadi menyentuh pundaknya dan dicurigainya berniat jahat. Seperti menghipnotis atau lainnya.

"Mau apa lo?" Sandra mendaratkan pukulan bertubi-tubi. Tidak terlalu keras mengingat kondisinya yang lumayan kelelahan, namun rupanya cukup untuk membuatnya jadi bahan tontonan. "Lo mau niat jahat ya? Nih rasain nih!"

"Bukan, gue bukan orang jahat." Laki-laki yang kini digebuki Sandra berusaha membela diri. Ditangkisnya semua serangan Sandra dengan mudah. "Nih makanya dengerin dulu." Katanya sambil merenggut paksa salah satu earbuds di telinga Sandra sampai terlepas.

Dipaksanya cewek itu diam dengan memberinya kode bahwa detik itu juga mereka menjadi bahan tontonan. "Lo tuh jadi orang negatife thinking banget ya."

Sandra memandang berkeliling dan mendapati orang-orang telah terlebih dahulu memandangnya, kemudian ia kembali memindai laki-laki dihadapannya lekat-lekat. Tampak seumuran dengannya.

"Gue nggak punya niat jahat sama lo, gue cuma mau nawarin bantuan. Itu pun kalo lo mau."

Sandra masih menatap laki-laki itu curiga.

"Gue kasihan liat lo cewek berdiri disini dari tadi, panas-panasan kayak gini. Jujur deh, lo capek-kan? Kalo lo emang udah nggak kuat biar gue yang antriin." Laki-laki itu berdecak mendapati tatapan Sandra yang rasanya menusuk. "Nggak usah berpikir gue akan bawa kabur uang lo."

Sandra mulai percaya bahwa laki-laki itu itu tidak berniat jahat. Mungkin memang dia adalah orang baik yang punya niat baik, tapi tetap saja prinsip Sandra untuk tidak mudah percaya pada orang lain masih ia jalankan sama baiknya. "Nggak perlu, gue masih kuat."

Tepat setelah mengatakan itu Sandra hendak berbalik, namun yang ada adalah tubuhnya terhuyung ke depan. Hampir tersungkur ke tanah kalau laki-laki itu tidak menahan bahunya. "Ini yang katanya masih kuat?" tanyanya sarkastik. "Last offers, lo mau dibantu atau enggak?"

No choise. Sandra membuka resleting tasnya, mengambil dompet dan menarik keluar dua lembar lima puluhan. "Dua tiket ekonomi, kembaliannya balikin, gue tunggu disana."

Sandra duduk di bangku besi penjang lima meter di arah tenggara loket. Menunggu sekitar lima belas menit sampai laki-laki itu menghampirinya dan menyerahkan dua lembar tiket beserta uang kembalian.

Remember Me |√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang