CHAPTER 8

793 129 40
                                    

Ketiadaannya menyebar seperti virus yang merambat perlahan. Menciptakan kekosongan di ruang tawa yang seharusnya ada. Reno. Sebulan penuh ini namanya menjadi semacam trending topic di SMA Insan Mandiri yang naik-turun. Suaranya yang berat namun renyah diam-diam dirindukan, guyonan jayusnya pelan-pelan dinantikan, bahkan keusilannya kini terasa lebih baik daripada kekosongan yang ia tinggalkan.

"Baru kali ini gue punya pulpen bisa tahan sebulan." Indah memutar-mutar pulpen jel-nya dengan satu tangan. Tangan yang lainnya ia gunakan untuk bertopang dagu. "Biasanya kalau hari ini beli, besoknya udah raib dicolong Reno."

Seperti efek domino. Anak-anak perempuan kelas 12 IPS-2 yang mendengar segera terenyuh. Tugas mengerjakan LKS segera ditinggalkan. Sibuk berkasak-kusuk tentang keadaan Reno saat ini.

"Sama, baru sebulan ini gue bebas kepang rambut setiap hari. Kalau dulu-dulu sih pasti ujungnya ditarikin sama Reno." Kata Lidya, tanpa sadar tangannya mengelus-elus kepang rambutnya yang dibentuk kuncir kuda.

"Baru sebulan ini juga, gue bebas teror sms tiap subuh yang minta dibikinin PR Bahasa Indonesia." Jessica, si juara kelas menambahkan. "Tapi kok gue ngarasa lebih baik begitu, lebih ada ramenya. Jadi gue bisa menyalurkan bakat orator gue buat teriak-teriak marahin Reno, daripada begini, anyep."

Mendengar semua itu membuat telinga Farid terasa gatal. Meski sok sibuk dengan game terbaru di ponselnya, meski pura-pura cuek dan duduk diam di bangkunya. Sebetulnya, ia juga merasakan hal yang sama. Kehilangan.. Ia lantas mengangkat pandangan dari ponsel pintarnya, melihat ke arah meja guru. Pak Jaya belum kembali dari ruang guru. Disimpannya ponsel ke dalam saku, ditutup lagi LKS-nya yang sama sekali tak tersentuh kemudian dimasukkan ke dalam tas.

"Mau kemana lo?" Jajang, teman sebangku sekaligus anggota gerombolan berjuluk 'Tukang Rusuh' menginterupsi.

"Cabut." Farid berdiri dengan tas ransel yang sudah tersandang di bahu. "Lo ikut nggak?"

Tanpa bertanya lagi, Jajang menyandang tas ranselnya yang tak berisi apapun. Tanpa diberi aba-aba Budi dan Jerry di belakang mengikuti. Sejenak, seisi kelas memandang mereka ber-empat yang berjalan menuju pintu kelas. Namun segera sibuk kembali dengan aktivitas masing-masing, hal demikian sudah begitu sering terjadi sehingga tak satupun repot-repot mencegah.

Namun ketika sampai di birai pintu, langkah Farid tertahan. Tiga temannya di belakang ikut berhenti. Ponsel di sakunya bergetar. 1 massage received. Isinya seperti membekukan udara, namun mencairkan sesuatu yang telah lama mengkristal. Bergantian, ditunjukkannya layar ponselnya kepada masing-masing temannya. Budi menjadi orang terakhir yang dikasih lihat, namun menjadi orang pertama yang hilang kendali. Ia berteriak dengan tenaga dalam.

"Reno sadar?"

Seisi kelas membeku, hening, senyap, sampai sedetik kemudian keributanpun pecah tak terkira.

Skip

Sandra menekankan tangannya ke sekeliling cangkir teh panas. Memaksa matanya terjaga meski kenyataannya kepalanya ingin jatuh ke meja kantin. Mata kuliahnya pada jam pertama tadi betul-betul menguras tenaga, belum lagi kenyataan bahwa semalam ia tidur di sofa rumah sakit yang membuatnya diserang rasa tidak nyaman sepanjang malam sehingga tidurnya tidak nyenyak. Tadi malam bersama Tante Widya ia menjaga Reno karena papa dan abangnya terpaksa lembur kerja di kantor.

"San, lo nggak pa-pa?" suara Anneka yang sarat akan kekhawatiran mencegah Sandra tertidur sambil duduk. Ia datang pada saat yang tepat, sambil meletakkan tumpukan bukunya di meja kantin cewek kurus itu duduk di samping Sandra.

Sandra memaksa seulas senyum, namun tenaganya yang terlalu lemah membuat bibirnya hanya membentuk sebuah garis lurus. "Thanks Ke."

"Untuk?"

Remember Me |√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang