CHAPTER 9

788 128 38
                                    

Reno menyentuh kaca jendela kamar rawatnya yang bergetar oleh suara petir yang menyambar barusan. Langit tidak mendung, hujan tidak akan turun namun petir menyambar-nyambar sejak setengah jam yang lalu. Di dunia ini selalu ada hal yang terasa aneh, termasuk petir yang menyambar di tengah cuaca cerah. Sama halnya seperti seseorang yang kehilangan ingatannya selama dua tahun oleh satu kecelakaan tragis. Tiba-tiba saja.

Teman-teman baru, putih abu-abu, SMA.

Reno mengeja kata-kata itu dengan baik di kepalanya.

Teman-teman baru, putih abu-abu, SMA.

Ingatannya sama sekali tidak memuaskan. Dan meski perbannya telah sepenuhnya dibuka kecuali bekas lubang infus di punggung tangannya, Reno tetap merasakan pening ketika ia memaksa dirinya sendiri mengingat.

Reno memfokuskan pikiran pada hal yang lain. Besok ia sudah boleh pulang, mamanya bilang ia sudah boleh sekolah kalau memang sudah merasa sehat. Sekolah. Mungkin dengan begitu ia akan lebih cepat mengingat. Gagasan itu membuat kepalanya sedikit terasa ringan.

Pintu ruangan itu diketuk dari luar. Seketika Reno berpaling ke arah sumber suara. Meski merasa terlalu formal ia akhirnya menggumamkan kata 'masuk'.

Ketika pintu itu terdorong ke dalam, terlihatlah sosok seorang gadis yang cukup jangkung untuk ukuran anak perempuan. Mengenakan rok panjang selutut dan sweater tipis. Rambut panjangnya tergerai menyentuh pinggang. Singkatnya ia terlihat cantik namun asing sekaligus terasa dekat.

"Hai." Kata Sandra kaku. Tadi ketika ia berangkat ia susah payah mempersiapkan diri untuk bersikap senormal mungkin. Tapi ia lupa, bahwa mengendalikan detak jantungnya sendiri adalah salah satu hal yang sulit dilakukan.

"Hai." Reno membalas tak kalah kakunya. "Duduk." Reno menunjuk kursi berlengan di seberang tempat tidur.

Sandra meletakkan parsel buah di nakas samping tempat tidur sebelum duduk di sofa.

"Gimana keadaan lo?" tanya Sandra.

"Semakin membaik. Lo siapa ya?"

Menyakitkan rasanya harus memperkenalkan diri dua kali pada orang yang sama. "Iya gue lupa, lo amnesia beneran ya?"

Setitik kecil harapan Sandra masih saja menyimpan keinginan bahwa penyakit Reno tidak sungguhan.

"Iya nih kayanya. Bener-bener berasa bego nggak inget apa-apa selama dua tahun ke belakang."

Sandra manggut-manggut. "Gue Casandra. Kakak kelas lo dulu, sekarang sih udah kuliah."

"Cool. Ambil apa?" tanya Reno. Binar di matanya menunjukkan bahwa anak laki-laki itu antusias.

"Seni music. Udah masuk semester 3 dan banyak tugas."

Ganti Reno yang manggut-manggut. "Kita dulu deket nggak? Mungkin aja lo bisa bantu gue mengingat masa yang gue lupakan. At least bagian yang sama lo."

"Nggak bisa dibilang deket juga sih, kita Cuma sering berinteraksi waktu lo lagi MOS, kebetulan gue anak OSIS." Kata Sandra, ia tidak pernah tahu berbohong bisa semenyakitkan ini.

Reno tampak kecewa.

Merasa bahwa berlama-lama berbohong dan berpura-puara akan membuatnya jadi gila. Sandra pamit keluar ruangan.

"Kaya'nya gue harus cabut sekarang deh, bentar lagi harus ke kampus. Gue balik ya." Sandra bangkit dari kursi.

"Padahal gue masih pengen ngobrol." Reno ikut bangkit. "Lo balik sendirian?"

"Gue dijemput temen kok." Sandra berbohong lagi.

Dengan gerakan serba canggung, Sandra memutar badan dan berjalan ke arah pintu. Tangannya sudah menggenggam pegangan pintu ketika Reno berseru.

Remember Me |√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang