"Kenapa sayang? Lagi dapat jatah bulanan?" Maura duduk di bangkunya. Dia habis dari toilet terus mampir ke kantin. Buktinya sekarang ada beberapa cemilan didepanku.
"Baik banget sih bawa makanan buat aku."
"Iyalah, aku mah emang baik dari sono nya." Dia cekikikan kagak jelas. "Eh, tadi aku ketemu anak yang namanya Ebi, dia nanyain kamu."
"Sekarang dimana dia?" Tanyaku celingak-celinguk.
"Na, Kok aku baru liat dia ya? Anak baru?" Ternyata bukan aku aja yang blo'on. Ternyata Maura sama blo'on. Apakah ini efek terjamah Om-om?
"Dia satu kelas Kok sama kita." Maura menepuk jidatnya yang lebar.
"Beneran? Siwer amat mataku kagak pernah liat dia."
"Abis mata kita terlalu terbutakan oleh pria tua dan berduit. Jadi deh nggak bisa lihat yang lain."
"Setuju dengan pemikiran anda, Natasha." Aku tersenyum lebar. Menampilkan gigi cantikku.
"Yelah, biasa aja kali nggak usah pamer gigi mutiaranya."
Hahaha
"Na?" Pundakku dirangkul erat Maura. "Selingkuh, ya?"
Hah.
"Tumben situ kenal anak laki?" Tanya nya meledek. Oke, aku emang terkenal disekolah ini tapi aku nggak kenal dekat ama anak cowok satu pun di sekolah. Habitatku dihabiskan dengan Maura sejak dulu.
"Mungkin sudah saatnya membuka diri." Aku membuka mulutku untuk memasukkan beberapa snack.
"Bagian apa nih yang dibuka? Atas atau bawah?" Ini anak kenapa lagi? Dia cekikikan lagi di bahuku. "Beberapa hari yang lalu ... Om Nara, dia ... " Terus aja cekikikan Maura.
"Dia Apa, Maura?" Tanyaku jengkel.
Maura membisikkan sesuatu yang gila di telingaku.
Gila! Serius gila.
"Ra, Serius kan? Nggak settingan?" Aku sedikit mundur untuk melihat langsung muka Maura yang merah. Ini anak beneran gila.
"Heeh." Jawabnya mantap.
"Ihhh ... Jijik." Hidupku berkerut tanpa sadar.
"Enak tahu. Rasanya ... OhGhost! Tidak bisa di ungkapkan dengan kata-kata." Kicaunya. "Makannya minta sama Om situ."
Aku bergidik ngeri.
"Awas aja kalau nanti cerita dengan mulut berbusa!" Maura berdiri membawa sampah bekas makanan kita. "Na, jangan lupa bayar ke kantin ya?" Lanjutnya ketika berdiri di ambang pintu kelas.
"Bayar apaan?" Aku berdiri.
"Yang barusan masuk perut situ."
"Eh ... Sialan!" Aku lari cepat mengerjar tuh bocah. Kirain tuh anak baik dan ikhlas mau membantuku, tapi taunya ... harus bayar juga.
/
Langkahku letih, lesu dan mungkin kurang darah sama duit saat melangkah tertatih-tatih di lorong sekolah. Aku malas untuk melakukan apapun, pengennya tiduran di kamar sambil maenin ponsel, selagi Ibu nggak ada di rumah. Namun keinginan hanya tinggal angin lalu saja saat Kent menarikku paksa ke mobilnya lalu membawaku ke Apartemennya.
"Ngapain Om ngajak aku kesini?" Tanyaku kesal. Males deh, aku masih kesal dengannya soal kejadian si Dedek.
"Aku sakit, masuk angin, Ta." Jawab Kent lemah. Emang iya sih, hidung mancung beler dan merah lagi. Terus mukannya juga pucat pasi. Nggak ada gairah.
"Ke dokter dong?" Aku memperhatikan sekeliling ruangan apartemen Kent, mewah dan elegan.
"Aku pengen di rawat sama Tata sayang," Kini dia berbaring di Sopa. "Peluk aku, Ta." Rengeknya.
Peluk atau nggak ya?
Kasihan juga dia.
"Ke dokter aja yuk?" Ajakku sekali lagi. Aku nggak mau meluk dia, takut manjang ceritanya.
"Nggak mau, Tata!!! Pokoknya aku mau di rawat sama Tata."
"Rawat gimana Om?" Tanyaku cukup kesal.
Dia melepas semua pakaiannya, meninggalkan Boxer nya saja. Aku menelan ludah, badannya gede banget. Jujur aku sampai berkeringat luar dalam, Jadi siapa yang sakit sekarang?
"Sekarang, Tata tinggal peluk aku. Aku pasti bakal langsung sembuh." Pintanya membuka kedua lengannya lebar-lebar.
"Nggak, ntar aku ketular penyakit Om." Aku duduk di Sofa seberangnya.
"Gitu amat sih, Yang?" Dia berdiri, bergerak ke arahku. "Coba Tata rasain tubuh aku, panas nih." Ucap Kent lirih.
"Aku nggak bakal ketipu lagi sama modus, Om. Sama Om tuh selalu berakhir dengan bencana." Enak.
Aku melotot.
"Yasudah. Aku nggak bakalan maksa Tata. Tata mau pulang juga silakan." Kent berbalik, menunduk.
Kok gitu sih?
Apa aku jahat banget.
"Om ... ?" Panggiku. Aku berdiri dari sopa, mendekat ke arahnya yang sudah diam di tempat sambil menunduk. "Sini, aku obatin."
"Janji?" Tanya Kent masih membelakangi.
"Iya. Aku janji." Aku iya-saja saja, kasihan Om tua ini nggak ada yang rawat.
"Aku pegang janji, Tata." Kent berbalik. Dan secepat angin topan dia sudah membawaku dalam pelukannya.
Mampus. Aku kaget lagi. "Om?"
"Aku sakit nggak liat cintaku hari ini." Kent mencium hidungku lembut, aku tidak tahu harus bereaksi apa.
"Sayapku terasa patah saat nggak denger suara, Tata. Aku butuh Tata buat kelangsungan hidupku."
Aku masih meringkuk dalam pelukannya, merasakan detak jantungku yang bergoyang. Moment ini terasa menyenangkan."Om?" Aku mencium sudut bibirnya "Om?" Aku menambah keberanianku, mencium bibirnya.
"Aku cinta, Tata." Katanya sebelum menjawab ciumanku.
Alah biarkan saja hari ini begini, toh besok atau satu jam kemudian aku bakal ngerasa Ilfeel lagi sama sikapnya. Jadi ... We Can't Stop untuk kegiatanku merasakan bibirnya di bibirku.
P.s; Vote mari Vote, biar besok update lagi.