Bab - 8

38.8K 1.1K 34
                                    


I Can't Breathe Without You ... u u u

Ya ampun!

Galau nian hidupku ini. Mau makan teringat padanya, mau tidur apalagi kagak bisa tidur selalu terbayang-bayang wajahnya yang mesum, mau nelpon tapi malu ditambah nggak ada pulsa. Menderita banget hidupku belakangan ini. Otak cerdasku tidak bisa berpikir normal setelah kejadian di mobil Itu.

"Ra, please matiin musiknya! Bikin aku tambah galau." Rengekku di balik bantal.

"Situ galau? Sama sini juga lagi galau." Maura semakin memperbesar volume suaranya. Gila ni anak.

"Aku galau pengen ketemu Om mesum itu, situ galau kenapa?" Aku melempar Bantal ke arah Maura. Dan Yess, sesuai sasaran mendarat diatas kepala bodohnya.

"Na, masa masakan aku di bilang nggak enak sama Nara? Sialan itu laki tua!! Hargai kek, puji dikit kek." Suara Maura menggebu-gebu layaknya para demonstran yang minta keadilan.

"Tapi jujur ya, Ra. Masakanmu memang nggak enak banget. Nggak ada rasa sama sekali, hambar. Layaknya perasaanku yang kosong setelah putus kontak sama Om Kent."

Hahahaha.

"Lebay deh." Cibirnya.

"Asyik lho jadi lebay, pantesan banyak orang lebay ya?"

"Mereka lebay karena tuntutan hidup. Nana lebay karena kebawa perasaan."

"Gitu, ya?"

"Maybe." Maura bergabung denganku diranjang miliknya. "Tapi Na, kenapa pria dewass sulit ditebak ya? Nggak kaya yang seumuran."

"Mungkin mereka sudah lelah dengan hidup ini." Jawabku asal.

"Atau mereka udah mati rasa dengan kehidupan indah ini?" Maura menyenggol bahuku, tersenyum cantik.

"Bisa jadi. Orang dewasa tuh suka aneh dengan pola pikir mereka. Kita caper di media sosial dianggap kanak-kanak. Lah emang kita masih abgeh Kan?" Aku balik menyenggol bahu Maura cukup keras hingga tubuhnya sedikit bergeser.

"Ya bener. Kita cuek mereka lebih cuek." Maura bergeser lagi untuk lebih dekat. "Maunya Apa sih Mereka? Kalau gini terus kita tinggalin aja."

"Nggak!" Aku cepat-cepat duduk dan menatap tajam pada Maura. "Kalau mau tinggalin aja tuh si Nara."

"Enak aja!" Maura ikut duduk dan sekarang kita saling berhadapan menebar ranjau di area masing-masing.

"Napa atuh nyuruh ninggalin?" Tanyaku sengit. Memicingkan kedua mataku padanya.

"Siapa yang nyuruh, Pe'a? Itu cuma pendapat." Nggak mau Kalau Maura mendekatkan wajahnya kepadaku. Menyisakan beberapa centi lagi. Bahkan aku bisa merasakan hembusan napasnya yang ...

"Mulut Maura bau." Kataku spontan. Mundur.

"Aku benci sama Nana!!! Sana pulang." Teriak Maura. Nah kok? Dia jadi ngusir aku gitu? Padahal dia yang maksa-maksa buat minta di temenin.

"Nggak, aku takut pulang sendiri. Kecuali di anterin supir." Aku semakin Mundur darinya.

"Mahal! Bensin sama gaji supir, pulang aja sendiri." Maura berdiri di depan ranjang besarnya dengan bertolak pinggang.

"Jahat banget sih! kagak mau, Maura ... !" Aku kembali melempar bantal ke arah muka Maura yang udah kusut.

"Awas ya ... !"Maura mengambil ponsel milikku yang tergeletak di ranjang. Mau apa itu anak?

"Maura, kembaliin ponsel aku?" 

"Hallo? Om Kent, jemput Nana di rumahku sekarang juga .... alamatnya di .... "

Kentara DimasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang