BAB 3

16.6K 1.5K 29
                                        

Zena tersenyum puas. Hasil karyanya pagi ini patut diberi acungan jempol. Semuanya mengembang dengan sempurna. Tidak ada satupun yang bantat. Ah, Zena memang pandai!

Keenam donat dengan taburan gula halus ditatanya di atas sebuah piring ceper warna putih berhias lingkaran bunga-bunga kecil. Lalu, diletakkan di meja makan berikut satu kotak susu yang dia ambil dari kulkas.

"Kakakkk! Sarapan!" seru Zena lantang. Tangannya bekerja menuang susu putih ke dalam dua gelas tinggi. Satu untuknya dan satu untuk cowok jangkung yang sedang berjalan malas dari tangga. "Kak––yelah, melek oi!"

"Ngantuk, Dek. Jetlag lah. Lagian lo rajin bener sih," Arthur–kakak Zena menarik kursi. Dikarenakan ngantuk masih menggodanya, Arthur melipat kedua tangannya di atas meja dan menumpukan kepalanya disana. Membuat Zena berdecak sebal.

"Ck! Kak, bangun ih–udah tidur dari semalem juga. Kakak–guyur nih!" Zena mengguncangkan bahu Arthur. Kakaknya itu terpaksa mengangkat kepala. Lelah mendominasi raut wajah cowok berusia dua puluh dua tahun tersebut. Matanya merah dan rambutnya mirip sarang burung.

"Lo mau langsung sekolah? Besok aja napa?" kata Arthur sambil mencomot satu donat buatan Zena. "Dek, kasih meses kek kali-kali atau apa gitu, gula halus mulu. Bosen tau."

"Kalo bosen taruh aja. Ribet," jawab Zena. Dia duduk di sebelah kakaknya. Mengambil satu donat dan mulai mengirisnya dengan garpu dan pisau. "Gue maunya sekolah sekarang. Ngapain mesti nunggu besok?"

"Bilang aja ada maunya," meski awalnya mengomel, toh Arthur memakan juga donat yang sudah disiapkan oleh Zena.

Adiknya memang penyuka donat. Amat-amat suka. Tapi ya itu, Zena cuma suka donat dengan taburan gula halus di atasnya. Kadang, kalau sedang iseng, Zena juga suka nyemil gula halus. Apalagi kalau ada yang berbentuk butiran-butiran. Dan bukan hal aneh lagi kalau Zena suka membuat donat untuk menu sarapan. Perempuan berdarah Jawa–Manado itu rela bangun jam empat pagi demi menyiapkan semuanya. Namanya hobi mana bisa dicegah. Tapi akan jadi lain perkara karna Zena seharusnya menggunakan waktunya untuk beristirahat. Kemarin dia dan Arthur barusaja tiba di Indonesia, setelah tiga tahun berkelana di beberapa negara di benua Eropa.

"Mau apa? Mau belajar iya," jawab Zena dengan mulut mengunyah donat.

"Zayn. Bilang aja udah nggak sabar mau ketemu sama dia."

Zena memperlambat gerakan gigi-giginya. Sosok Zayn memang menjadi alasan Zena untuk tetap berangkat ke sekolah barunya pagi ini. Zena rindu pada sahabatnya itu. Apa kabar dia sekarang? Mengingat hubungan mereka yang terputus, Zena jadi merasa ragu. Dia takut Zayn tidak mau lagi bertemu dengannya.

"Lagian tinggal samperin aja ke rumahnya susah amat sih, Dek–" ucap Arthur lalu meraih gelas susunya. "–tinggal jalan ini. Rumahnya masih yang dulu kan?"

"Mana gue tau, Kak. Masih kali."

"Kalo bukan karna lo ngotot mau balik ke Indonesia dan ketemu sama Zayn, mungkin kita nggak bisa ketemu lagi sama rumah ini. Lagi lo bisa banget ngebujuk Papa buat daftarin lo di sekolah Zayn. Segitunya banget."

"Apa sih segitunya-segitunya? Orang gue nggak gimana-gimana. Gue kangen sama tanah kelahiran gue masa nggak boleh?"

"Modus alay. Remaja dasar. Gue tau kali lo udah kangen mampus sama Zayn. Ke rumahnya aja udah– kelamaan kalo di sekolah mah."

"Nggak ah. Di sekolah aja," Zena melahap potongan kecil donatnya. "Kak–"

"Masih pagi, Dek. Otak gue belom ready buat dengerin curhatan lo."

"Apa, is––gue cuma mau nanya doang."

"Gih. Kalo bisa gue jawab ya nggak gue jawab."

"Serius, Kakak!"

Zayn and Zena ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang