BAB 8

13K 1.2K 30
                                        

"Zeze langsung mandi ya––" ucap Zayn sambil mengeluarkan kepalanya dari kaca taxi yang dia buka. Mereka ada di depan gerbang rumah Zena. "––makan jangan lupa."

"Siap, pak bos!" jawab Zena lantang dengan diikuti sikap hormatnya ala pegawai kepada atasannya. "Zaza juga, mandi, ma––"

"Masa iya Zaza semales Zeze."

"Is is––kata-katanya berisikan fitnah yang keterlaluan," Zena mengelus dadanya sambil menggeleng. "Sana ih pulang, kesian bapak sopirnya nungguin Zaza modusin Zeze"

"Pret! Ogah lah ya modusin kutil kucing kaya gini," telunjuk Zayn naik untuk mencoel hidung Zena. "Hahaha!" Lalu dia menyuruh bapak sopir taxi untuk segera kabur sebelum Zena membalasnya.

"Zaza upil! UH!"

Dia pun membalikkan badan. Mengeluarkan kunci gembok gerbang yang sudah diberikan Arthur sebagai alat kalau-kalau Zena pulang lebih dulu.

Gembok terbuka beserta sentekan gerbang berwarna hitam mengkilat. Bertepatan dengan Zena yang mau melangkah masuk, suara klakson mobil muncul dari belakangnya. Langit hitam awalan terbukanya tabir dunia malam membuat Arthur menyalakan lampu mobilnya, menyilaukan mata Zena.

"Sabar ih, gerak dulu badannya."

Zena mendorong gerbang dengan malas. Berat soalnya, Arthur keterlaluan tidak mau turun dulu dan membuka sendiri gerbang untuknya masuk. Zena mengelap keningnya begitu mobil Arthur masuk ke halaman. Badannya terasa lengket oleh keringat. Ingin cepat-cepat dibasuh air dingin.

Enak pastinya.

Zena sudah mau mengomel pada Arthur, tapi dua orang tua yang keluar dari jok mobil belakang membuat niatnya berubah total. Satu diantaranya––yang wanita––membuka tangan lebar-lebar dan menyuruh Zena untuk memeluknya.

"Zeze kangen Mamaaaaa," putri kecil kesayangan keluarga itu menggoyangkan tubuh Mamanya seiring pergerakannya.

"Kangennya sama Mama doang, Papa enggak? Gitu ya–oke fix, Papa balik lagi aja ah ke Singapore."

"Papaaaaa!" Zena merajuk. Berjalan dengan hentakan kaki untuk gantian memeluk pria tinggi besar raja di dalam kehidupannya selama enam belas tahun. "Baperan ih Papanya siapa sih ya?"

"Papanya Arthur doang kali, abisnya Zezenya nggak kangen sih."

"Males deh ah si Papa."

"Anak manja gimana di sekolah barunya?" tanya Papa sambil memperhatikan penampilan Zena mengenakan seragam SMA khas Indonesia. Putih–abu-abu.

"Ngobrolnya di dalem aja, Pa. Mau maghrib lho ini," dengan suara lembutnya, Mama menginterupsi jawaban Zena. "Ntar kita digondol setan. Hih serem."

"Mama dasar ya, udah lama tinggal di luar negeri masih aja percaya begituan. Oh, God!" kata Zena lalu menengadahkan tangannya ke langit. Dia pun mengawasi apa yang dilakukan Arthur. Melihat dengan seksama pada kotak yang dibawa cowok berpenampilan bad boy itu. "AAAKKK––Jco kan, Kak? Iya kan? Bener? Ah syurgaaaaa!"

"Buat gue ini, emang gue beliin buat lo? HU!" balas Arthur sambil mendorong pelipis Zena. Adiknya langsung cemberut. Pasang aksi bibir mengerucut. "Baperan dasar anaknya Papa!"

"Papa lagi dibawa-bawa. Bikin lelah deh," sahut Papa, Mama di sebelahnya terkikik geli.

"Ada kesukaan gue nggak, Kak?"

Arthur membuka kotak. Mempertontonkan pada Zena sampai cewek itu spontan berteriak. "Lebay nih pasti," gumam Arthur sebelum––

"AAAKKK! MY SUGAR ICE! Kak, mau sekarang dong. Kak, bagi dong. Kak–ih, Kak!"

Zayn and Zena ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang