Anak-anak kelas sebelas SMA Bela Negara telah bersiap di dekat bus kelas mereka masing-masing. Hari ini hari Jumat, hari dimana acara wajib Survival Training akan dimulai. Dari pagi pukul setengah tujuh mereka sudah diberi pengarahan dari guru-guru dan para kakak kelas, setengah jam kemudian mereka dibubarkan dari barisan dan disuruh bersiap untuk berangkat.
"Nyari apaan deh, Sov?" tanya Zena kepo melihat Sovia di sebelahnya sibuk mengubek isi tas ransel biru tuanya.
"Matilah gue, Zen!"
"Hah? Kenapa? Lupa bawa daleman?"
"Is!" mendengar pertanyaan Zena, Sovia langsung membekap mulut temannya itu. Yang dibekap cuma bisa protes sambil memukuli tangan Sovia. "Bukan itu, apaan deh lo. Gue tuh lupa nggak bawa lotion anti nyamuk."
"Itu doang? Bilang kali sama gue," jawab Zena sambil menjentikkan jarinya. Mau pamer dia.
"Lo bawa?"
"Enggak," dan ekspresinya itu lho, bikin orang pengen nabok aja.
"Yeee!"
"Haha, bawa dong ya. Mama kan udah nyiapin segala sesuatunya buat gue," Zena mengambil ranselnya dari punggung, menepuk-nepuk bagian depan dimana kemarin malam dia melihat mamanya memasukkan sebotol lotion anti nyamuk ke dalam situ.
Sovia merangkul Zena. "Ah, Zena cakep dah– ntar gue minta boleh dong?"
"Buat dipake dikulit ya, jangan dimakan."
"Nggak sih, mau gue pake buat keramas," jawab Sovia agak sewot. Zena malah tertawa geli. "Biar kepala gue nggak digigit nyamuk."
"Wow, Sovia emang jenius tingkat dewa!"
Dan lagi asyik-asyiknya ngobrol sambil menunggu arahan untuk naik ke bus––soalnya busnya lagi dipanasin dulu mesinnya dan persiapan lain juga belum rampung seratus persen––dari arah belakang tubuh Zena seorang anak laki-laki berjalan mendekat. Dia memakai jaket warna abu dan topi warna senada, dia juga membawa ransel hitam besar yang kelihatannya berat.
Pasti perbekalan yang diberikan bundanya udah melebihi anak TK mau piknik.
"Zeze."
Zena menggerakkan kepalanya ke arah belakang. Lalu dia cemberut, bukannya menyamai ekspresi Zayn yang pamer senyum tiga jari untuknya. Nggak bisa dipungkirin, pagi ini Zayn kelihatan cakep dan segar, apa efek dari cahaya matahari pagi ya? Sebelum akhirnya Zena juga sadar mungkin dia seperti itu karna udah beberapa hari ini dia tidak menanggapi Zayn.
Ada kesan rindu yang terasa, dan Zena sadar akan hal itu.
"Mau apa?" balas Zena sok acuh. Dia buang muka, melihat ke badan bus warna putih.
Zayn mendorong maju kotak susu yang ada di tangan kanannya dan juga kotak bekal yang ada di tangan kirinya. "Ini buat Zeze."
"Zeze udah bawa bekel," Zena masih dingin, pegangan tangannya mengerat pada tali ransel. Di belakangnya, Sovia sudah menghilang. Dia sengaja memberi waktu untuk dua temannya yang sedang perang dingin.
"Zaza sengaja bikin donat gula halus ini buat Zeze. Zaza bikinnya dari jam tiga pagi lho, plis ya diterima, Ze," ucap Zayn masih kekeuh menyodorkan bawaannya.
Zena agak tersentak mendengar pengakuan Zayn. Mungkin Zayn bisa bohong, hanya untuk mendapatkan perhatiannya, tapi Zena sempat melihat kalau dua mata Zayn memang terlihat sayu dan lelah. Pertanda kalau cowok itu memang bukan bangun di jam biasanya dia bangun.
Tangannya sudah hampir maju, jujur, dia tidak tega melihat Zayn. Tapi, ada dorongan dari hatinya yang bikin dia mundur lagi. Rasa sakit hati itu masih ada. Masih membekas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Zayn and Zena ✔
Fiksi Remaja[Teenfict Story] Bagi Zayn, Zena adalah kepingan coklat di atas black forest cakenya, dan bagi Zena, Zayn adalah taburan gula halus di atas donat polosnya. Tanpa keduanya semua terasa hambar.