BAB 25

8.7K 791 24
                                    

Pada akhirnya hari-hari tetap berjalan sebagaimana mestinya. Satu hari tetap dua puluh empat jam dan matahari tetap terbit dari arah timur. Pergantian waktu yang sesuai porosnya inilah yang menyebabkan kekalutan pikiran dan hati Zayn berangsur hilang. 

Tidak ada lagi Zayn yang sakit hati karna perselingkuhan Gladys.

Tidak ada lagi Zayn yang menyesali semua waktunya untuk Gladys di masa lampau.

Karna kini yang ada hanya Zayn bersama teman-temannya yang setia bersamanya. Dan diantara mereka, nama Zena tetap menyembul sebagai suatu yang utama.

Satu minggu berjalan, selama itu pula Zayn mencoba menggali lebih dalam sebenarnya apa makna kasih sayang  yang dia miliki untuk Zena. Rasa perhatian serta ketulusan yang Zena tampakkan perlahan membuka celah di hati Zayn kalau selama ini dia tidak peka. 

Katakanlah Zayn terlalu cepat menafsirkan debuman yang ada di hatinya, namun dia juga tidak mau gegabah bertindak. Yosa benar, jangan jadikan Zena sebagai pelarian, maka dari itu Zayn masih terus mencoba memantapkan hati.

"Zeze pengen makan cilok masa," ucap Zena di siang hari ketika bel pulang sekolah sudah berbunyi setengah jam yang lalu. Dikarenakan Zayn masih harus mengerjakan tugas kelompok, yang kebetulan berbeda kelompok dengan Zena, siang itu dia tidak bisa langsung pulang, dan alhasil Zena juga mengikuti.

"Minta anter Sovia ya, Ze. Zaza lagi nanggung nih, biar cepet kelar tugasnya," jawab Zayn selepas memindahkan kalimat-kalimat dari buku diktat ke selembar kertas HVS.

"Zeze bisa sendiri kok," Zena mengenakan ranselnya, bersiap untuk berdiri. "Mau Zeze beliin nggak?"

"Boleh deh, jangan pedes-pedes ya."

"Iya emang nggak boleh makan pedes, Zaza bisa diare entar."

Cewek yang siang itu mengepang rambutnya dan menyampirkan di bahu kanannya lantas bangkit, mengacak rambut Zayn sebentar lalu pergi meninggalkan kelas. Sovia dan Arga yang tengah asyik melihat sesuatu pada laptop di depan mereka hanya melambaikan tangan sebentar begitu Zena memanggilnya.

Letak kelasnya yang berada di lantai dua mengharuskan Zena untuk menuruni beberapa kali injakan anak tangga untuk dapat menjangkau lantai satu, melewati lorong kelas sepuluh kemudian berbelok ke kiri menuju gerbang sekolah. Biasanya, di jam pulang sekolah seperti ini abang penjual cilok yang menjadi langganan Zena berada di depan gerbang. Jajanan khas Bandung itu selalu laris oleh anak-anak yang kelaparan dan tidak mau makan terlalu berat.

Zena bertegur sapa dengan Cintya di perbatasan gerbang dengan area luar sekolah, anak itu rupanya sudah lebih dulu membeli jajanan tersebut. Padahal mereka kerap bertemu di satu waktu yang bersamaan. Faktor harus menunggu Zayn adalah yang menjadi penyebabnya.

"Abang, ciloknya dong dua," kata Zeze ramah. Penjual cilok yang nampak kelelahan kemudian berdiri dari tempat duduknya, kebetulan saat ini hanya ada Zena di sini.

"Kirain nggak beli cilok Abang hari ini," cowok bertopi yang sekiranya seusia dengan Arthur itu mengambil dua lembar plastik bening.

"Tadi nungguin Zayn ngerjain tugas dulu, Bang," jawab Zena sambil iseng mengetukkan jemarinya pada gerobak. Disaat si abang penjual berniat memasukkan saos, Zena langsung menengok dengan kedua kaki sedikit berjinjit. "Jangan banyak-banyak lho."

"Iya, kan udah hafal kebiasaannya. Hehe."

"Sip!"

Tiga menit selanjutnya, Zena kembali memasuki area sekolahnya ditemani bungkusan plastik hitam tempat dimana dua bungkus ciloknya berada. Salah satu tangannya yang kosong mengayunkan kepangannya sambil menatap keadaan sekolah yang belum bisa dibilang sepi. Beberapa anak masih berkeliaran kesana-kemari. Lapangan basket malah sedang dipakai untuk bertanding, entah antara kelas berapa dengan kelas berapa. Sempat menengok ke arah ruang seni, Zena memberikan senyum sekaligus lambaian tangan pada segerombolan anak yang hendak melakukan ekstra kurikuler.

Zayn and Zena ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang