BAB 12

10.8K 901 8
                                        

"SURVIVAL TRAINING ITU ACARA WAJIB MAMAAAA."

Zena bolak-balik mengikuti mamanya yang sedang menyiram tanaman. Kalimat tersebut sudah terlontar dari mulutnya sebanyak tiga kali. Satu kali lagi mungkin Zena bisa mendapat hadiah sandal cantik––karna piring atau payung cantik sudah terlalu usang. Mending sandal cantik, bisa dipakai kemana-mana.

Oke, kembali ke topik pembicaraan antara mama dan anak...

"Zeze sayangnya Mama–cantikkkk, kamu tuh nggak ngerti apa ya kalo Mama khawatir? Itu hutan, Ze. Kamu ngerti nggak sih hutan itu tempat yang gimana?"

"Tempat yang seru kan, Ma."

Mama mendelik padanya. "Seru dari segi apanya coba Mama tanya?"

"Dari segi semuanya. Nih Zeze bilangin ya, ntar di hutan kita disuruh kemah. Tidur di dalem kemah kan nggak pernah Zeze lakuin seumur hidup, Ma. Dan lagi ya––"

"Kalo masalahnya cuma gara-gara kemah doang, ntar ya Mama beliin tenda trus kamu bangun kemah di taman rumah kita. Biar rame ajak kakak tuh."

"Apa apaa? Kemah? Di taman rumah?" Arthur keluar dari pintu teras samping yang menuju ke taman. Berbekal semangkok sereal coklat, cowok itu duduk manis di sofa hitam. "Ide macam apa itu?"

"Kamu kesini mau belain Mama apa adek kamu?"

"Tergantung," jawab Arthur santai. Dua pasang mata menatapnya. "Yang ngasih duit buat nonton civil war ramean sama temen nongkrong siapa? Pasti bakalan Arthur dukung dengan sepenuh jiwa raga."

"Ma–les," ucap Zena dengan telengan kepalanya ke kiri dan kanan, berikut hentakan kakinya. Tandanya, itu anak sedang kumat. Apa yang dia minta harus dikabulkan. "Mamaaaa, ayolah–masa kemah gitu doang nggak boleh. Mama ih–kaya nggak pernah muda aja."

"Zeze kalo ngomong ya bener-bener. Mama pernah muda, tapi Mama nggak pernah seumur-umur yang namanya kemah-kemah nggak jelas. Apa sih kurang kerjaan. Lah tidur di rumah aja enak masa mau-maunya tidur di hutan," mama berceloteh sambil memangkasi daun-daun kuning dari bunga mawar putih yang baru tadi siang dibeli. "Daun kuningnya banyak banget sih. Ya ampun tadi milihnya gimana sih ini."

"Milih sendiri padahal ya," ucap Zena lebih kepada bergumam. Arthur manggut-manggut. Kebiasaan mama mereka, kalau membeli sesuatu pasti ada saja yang dikecewakan begitu sampai di rumah. "Mamaaaaa–"

"Iya, sayangku. Cimit-cimitkuuu."

"Nggak usah panggil Zeze kaya gitu ah, Ma. Cimit-cimit berasa apaan deh. Pokoknya Zeze tetep mau ikut survival training! Titik nggak pake koma."

Mama meletakkan alat semprotnya. Menghadap putri bungsu kesayangannya dengan tatapan–seolah–memohon. "Zeze, Mama kaya gini karna Mama sayang banget sama kamu. Ma––"

"Oh, kalo sama Zeze sayang banget, kalo sama Arthur sayang aja? Iya gitu, Ma?" Arthur protes lalu menampakkan ekspresi–sok–sedih. Heran ini kenapa jadi pada drama sih?

"Uh, jagoannya Mama, ya nggak gitu dong. Mama ralat deh ya–Mama sayang banget bangeet bangeeet sama Arthur sama Zeze. Dan buat Zeze, mama tetep ngelarang kamu buat ikut acara kemah-kemah itu. Kalo perlu Mama yang bakal ngomong ke wali kelas kamu. Lagian ya aneh, ngajak tuh ke tempat yang bermanfaat kan bisa, museum kek–jadi biar kalian generasi pe––"

"Mama jangan mulai!" teriak Arthur dan Zena dalam satu nada yang sama.

"Mama nggak kaya Papa. UH! Papa aja ngebolehin padahal. Masa sekarang tinggal ijin dari Mama nggak bisa?" Zena merengut lalu duduk di sebelah Arthur. Dia tadi memang sudah meminta ijin dari papanya dan berhasil. Kurang dari mama. Karna bahkan kalau mama berkata B sedangkan papa berkata A, kenyataan yang berjalan haruslah tetap B. Tapi soal yang satu ini, Zena tidak mau kalah dari mamanya.

Zayn and Zena ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang