BAB 22

8.8K 782 24
                                        

Multimedia : Shawn Mendes-Treat You Better


"Gimana keadaan Zena?"

"Ngapain lo disini?"

Dua pertanyaan terlempar bersamaan dari mulut dua cowok yang kini saling berhadapan dalam jarak kurang dari satu meter. Zayn tidak akan dan entah apakah dia bisa bertoleransi jika bertatap muka secara langsung dengan llham dalam kondisi hanya berdua saja. Perlakuan buruk Ilham di masa lalu menyangkut dirinya dan Gladys memberi penjelasan mengenai bagaimana tabiat Ilham yang sebenarnya. 

Berlagak seolah anak raja yang segala keinginannya harus terpenuhi, Ilham membujuk Gladys dengan rayuan mautnya beserta iming-iming pemenuhan akan segala keinginan Gladys. Sayangnya, Gladys kala itu tetap memilih Zayn karna hatinya tahu bahwa perasaan tidak dapat ingkar. Bahwa rasa sayang dan nyaman hanya bisa didapatkan dari orang yang tepat, dan bagi Gladys orang itu hanyalah Zayn, bukan Ilham. Pemaksaan yang dilakukan oleh Ilham tentu menjadi batu sandungan bagi hubungan Zayn dan Gladys, bahkan kira-kira sudah lebih dari dua kali Zayn dan Ilham terlibat adu fisik. Ilham baru meredup ketika usia hubungan Zayn dan Gladys sudah memasuki bulan kedua. Secara tidak langsung, Zayn menganggap Ilham menyerah, tapi dia tetap tidak suka dengan cowok itu.

Apalagi setelah kedatangan Zena, Ilham seperti kembali menunjukkan taringnya, maka Zayn tidak akan segan-segan untuk menghalalkan segala cara agar Ilham menjauhi Zena. 

"Zena baik-baik aja, lo bisa pulang ke perkemahan," ucap Zayn tanpa membiarkan Ilham menjawab pertanyaannya tadi.

"Gue mau jenguk dia, apa nggak boleh?"

Zayn mendengus sebal lalu membuang muka, jengah menatap wajah Ilham. "Nggak. Zena bisa sakit lagi kalo dia ketemu sama lo."

"Za, lo masih ada dendam sama gue? Sampe lo segini khawatirnya kalo gue ngedeketin Zena."

"Gue cukup tau siapa lo ya!" ujar Zayn keras, tidak peduli sedang ada dimana dirinya sekarang. "Kalo lo cuma mau manfaatin Zena buat bales sakit hati lo karna Gladys, lo nggak akan pernah berhasil karna sampe kapanpun gue akan selalu ngejaga Zena."

"Songong banget lo," kali ini giliran Ilham memberi dengusan. Seenaknya saja dia maju dan meninju pelan dada Zayn. "Dengan lo bersikap kayak gini, Zena justru nggak akan nyaman berada di deket lo. Dia juga butuh bergaul. Nggak cuma cukup kenal sama lo dan temen-temen lo doang."

"Zena akan tetep nyaman sama gue, asal lo tau, gue bersikap over protective ke dia cuma di saat dia ada di deket lo. Karna gue nggak mau Zena jadi korban cowok brengsek kayak lo!"

"Zayn, lo mikir nggak sih yang lo omongin apa?" tanya Ilham diselingi tawa sinisnya. "Gue brengsek dengan cara gue, dan lo juga brengsek dengan cara lo yang manfaatin keadaan. Otak lo masih bisa bekerja normal kan? Harusnya lo sadar lo dan Zena apa sementara lo dan Gladys juga apa. Nggak usah maruk lah jadi cowok. Pake sok mau punya ban serep, emang Gladys nggak bisa bikin lo bahagia?"

Zayn yang lepas kendali segera melayangkan satu bogemannya mengenai pipi Ilham. Cowok berkaos hitam itu terpental ke arah kanan, tangannya memegangi pipi dan umpatan barusaja lolos dari mulutnya. Ilham bukan cowok lemah yang takut atau langsung lari jika dihantam semacam ini, namun dia tidak mau meladeni sikap Zayn yang baginya terlihat kekanak-kanakkan.

"Zena bukan ban serep, brengsek!"

"Lantas apa? Sahabat? Temen dari kecil yang pas udah sama-sama besar saling nyimpen rasa? Alah, tai! Kalo lo emang sayangnya sama Gladys ya udah ngapain lo pake segini lebaynya sama Zena? Gue bisa buktiin sama lo kalo Zena bakalan mau sama gue," Ilham menunjuk Zayn, nafasnya naik turun menahan emosi, sama halnya dengan apa yang dirasakan Zayn.

"Lo nggak akan bisa, karna gue pastiin Zena nggak akan pernah lagi sudi kenal sama lo!"

"Oh ya? Mau ngomporin Zena? Yang gue tau Zena itu cewek pinter, dia nggak akan bisa kemakan gitu aja sama omongan lo."

"Justru karna Zena pinter makanya dia bakalan bisa ngerasain gimana sebenernya lo!" bentak Zayn, saking kerasnya nafasnya terasa nyata menampar wajah Ilham.

"Oke oke, kita ambil jalan tengahnya aja," ucap Ilham hendak melakukan diskusi yang apapun itu Zayn dapat memastikan kalau efeknya hanya akan menyenangkan bagi dirinya saja. "Gue bakal jauhin Zena, sejauh mungkin biar lo puas, asal lo mau nyerahin Gladys ke gue. Impas kan? Biar kita sama-sama dapet."

Kontan saja dua tangan Zayn yang kaku di sisi tubuhnya berubah keras. Kepalan tangannya tercipta sampai menunjukkan urat-urat yang ada di tangannya. Wajah cowok itu memerah karna marah, rahangnya nampak membatu, keras tanpa ada yang tahu kapan akan kembali melunak. Sementara Zayn merasakan aliran emosi menguasai tubuhnya, di depannya berada sekarang, Ilham tampak santai memamerkan wajah sombongnya. 

"Ini alesannya kenapa gue nggak sudi orang-orang yang gue sayangi ada di deket lo," ucap Zayn pelan namun sarat akan ketegasan. "Lo bajingan melebihi segala yang brengsek di dunia ini. Dan jangan harap gue bakalan nyerahin Gladys ke elo, karna itu sama artinya lo ngibarin bendera peperangan sama gue."

"Susah ya diskusi sama lo, dikasih jalan tengah bukannya makasih malah ngomongnya ngelantur," tanpa gentar sedikitpun, Ilham tetap bisa menarik dua sudut bibirnya ke atas. "Sekarang gue tanya sama lo, diantara mereka berdua siapa yang paling lo sayang? Gladys atau Zena? Kalo dalam lima detik lo nggak bisa jawab, berarti lo pecundang, Zayn!"

Satu detik...

Dua detik...

Tiga detik...

Empat detik...

Lima detik...

Nyatanya, Zayn malah membisu. Bibirnya mendadak kelu, tidak bisa berucap satu kata pun. Pertanyaan yang dilemparkan Ilham menancap tepat ke hatinya. Zayn mengaku kalau dia menyayangi Gladys, karna tidak mungkin sebuah hubungan berjalan tanpa didasari satu perasaan.

Di bagian lain dari hatinya, tempat bagi Zena sangatlah istimewa baginya. Zayn menyayangi Zena sejak mereka belum mengenal sekolah. Zayn menyayangi Zena meski jarak pernah memisahkan mereka selama dua tahun. Dan atas nama rasa sayang yang ada di hati Zayn, cowok itu sendiri tidak paham apakah masih sama antara apa yang dia rasakan dulu dengan sekarang? Apakah ada peningkatan yang menyebabkan Zayn melarang keras Zena didekati Ilham?

Ataukah ini memang hanya murni rasa sayang yang bertujuan untuk melindungi Zena sama seperti ketika meraka kecil dulu saat Zena diganggu temannya di sekolah?

Seharusnya, pertanyaan Ilham yang sepele sanggup dijawab Zayn dalam hitungan kurang dari dua detik, berhubung dia sendiri merasakan gemuruh yang mendadak mengusik hatinya, Zayn berubah menjadi patung. Kaku. Diam. Tidak ada pergerakan kecuali dadanya yang nampak kembang kempis karena bernafas.

"Kebukti kan sebenernya lo ini apa?" Ilham mengeraskan suaranya, tepat di depan wajah Zayn. "Pecundang yang lebih brengsek daripada bajingan kayak gue!"

Ilham mengangkat jari tengahnya selurus pandangan mata Zayn, lalu cowok itu melenggang pergi. Bukan untuk menerobos Zayn dan masuk ke kamar rawat Zena, melainkan kembali ke pintu utama.

Punggung Ilham yang makin lama makin terlihat kecil terus saja diamati oleh Zayn. Segala macam perkataan Ilham bercokol di otaknya.

Tentang Gladys.

Tentang Zena.

Tentang rasa sayang untuk seseorang penyandang gelar kekasih dan untuk seseorang yang telah bersama sejak kecil.

Zayn terduduk lemas di bangku besi panjang. Rasa lapar yang tadi memang sudah hilang sekarang justru berubah menjadi rasa mual yang memenuhi perut Zayn. Perlahan punggungnya dia sandarkan ke belakang sembari kepalanya mendongak ke atas, menatap langit-langit klinik yang dicat warna putih.Dadanya bergerak konstan, sama halnya dengan kedipan matanya, semua yang terjadi hari ini terlalu menyita pikirannya. 

Satu hal yang belum Zayn sadari, bahwa akan tiba masanya hati menentukan kepada siapa dirinya rela diberikan, ditempatkan di posisi ternyaman agar selamanya ia betah berada di sana.

Zayn harus lebih banyak belajar menyikapi pergerakan hatinya sendiri.

*****


Jumat, 15 Juli 2016


Zayn and Zena ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang