Zayn berdiri dengan angkuh di depan gerbang rumah Zena. Kakinya barusaja iseng menendang kerikil. Dia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Zena dan meminta penjelasan atas pertemuan tidak sengaja mereka di kafe tadi. Zayn tidak akan segusar ini kalau cowok itu bukan Ilham.
Tapi kenyataannya dia itu memang Ilham––iya, Ilham Putra mantan rivalnya. Sampai sekarang pun sebenarnya mereka tidak bisa dibilang mempunyai hubungan baik.
"Lama banget ah elah! Kemana aja sih mereka? Udah jam delapan juga!"
Zayn mondar-mandir tidak jelas. Rasanya dia ingin kembali ke kafe tadi dan menarik Zena pulang. Mendamprat Ilham sekaligus mengultimatum agar cowok itu menjauhi Zena. Jaga jarak minimal sepuluh meter adalah hal yang harus dipatuhi oleh Ilham, atau Zayn akan mencincangnya.
Oke– itu berlebihan.
Tapi hati Zayn tidak berhasil berkompromi dengan otak. Selalu ada saja ide gila yang muncul agar Ilham tidak lagi memodusi Zena.
Sorot lampu disertai suara deru mesin mendekat setelah umpatan ke sepuluh dari mulut Zayn. Kedua tangannya yang mendiami saku jaket seketika mengepal. Sorot mata buasnya menangkap percakapan singkat antara Ilham dan Zena sebelum akhirnya Zena keluar dari jok penumpang depan.
Zena melambaikan tangan pada Ilham, lalu seiring dengan mobil yang kembali melaju, satu kali bunyi klakson sengaja Ilham berikan untuk sekedar menyapa Zayn.
Padahal Zayn tahu betul kalau dia sedang diejek oleh Ilham. Sialan sekali!
Bola mata Zena berputar sekali. Asli, dia sangat jengah harus berhadapan dengan Zayn untuk malam ini. "Mau ketemu siapa?"
"Menurut Zeze?" balas Zayn dengan dagu terangkat. "Kenapa pake nada ketus gitu sih?"
"Lah, bodo, suka-suka Zeze dong," jawab Zena. Dia berjalan mendekat pada sentekan gerbang. "Awas ih––Zeze mau masuk!"
Zayn menutup akses Zena untuk membuka gerbang. Mau berapa kalipun Zena memaksa, dia akan tetap kekeuh. "Zaza mau ngomong serius sama Zeze."
"Zeze capek. Besok aja. Atau via LINE kan bisa. Lagian apaan sih pake serius-serius segala."
"Ini soal Ilham."
Zena mendengus kesal. Dia mendongak pada Zayn yang lebih tinggi darinya. "Ilham kenapa?"
"Jangan ngomong disini. Kita ke taman aja–"
"Nggak mau!" pada saat Zayn hendak menggapai tangannya, dengan gesit Zena menyembunyikan kedua tangannya di balik punggung. "Kalo mau ngomong di sini aja, lagian ngapain pake ke taman segala? Digrebek security baru tau rasa!"
"Ya masa ngomong di depan gerbang?"
"Ya udah sih masuk. Sanaan makanya!" Zena mendorong tubuh Zayn agar menjauh dari celah terdekat dengan sentekan. Mau tidak mau, suka tidak suka, Zayn harus mengekori Zena untuk berjalan menyusuri halaman rumahnya sebelum mencapai teras. "Gih ngomong. Jangan lama-lama awas aja, Zeze mau tidur."
"Kenapa nggak di dalem?"
"Ada Kak Arthur. Udah ah buruan."
"Zaza nggak suka Zeze deket sama Ilham. Apalagi sampe mau diajak jalan. Kenapa sih Zeze bandel banget?"
"Ck!" decakan kesal tercetus dari Zena. Dia sudah mempunyai firasat sejak di kafe kalau Zayn pasti membahas soal dia dan Ilham. "Zaza kenapa sih suka ngomelin Zeze gara-gara Ilham? Kak Arthur aja ngebolehin Zeze jalan sama Ilham."
"Soalnya Kak Arthur nggak tau Ilham tuh kaya gimana."
"Trus Zaza tau Ilham banget banget gitu? Sampe ukuran upilnya juga Zaza tau? Ih––kalian LGBT jangan-jangan!" balas Zena jengkel. Apa sih Zayn ini, kenapa selalu emosi jika menyangkut Ilham.
![](https://img.wattpad.com/cover/69239874-288-k552886.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Zayn and Zena ✔
Ficção Adolescente[Teenfict Story] Bagi Zayn, Zena adalah kepingan coklat di atas black forest cakenya, dan bagi Zena, Zayn adalah taburan gula halus di atas donat polosnya. Tanpa keduanya semua terasa hambar.