BAB 5

14.7K 1.4K 39
                                    

Harapan : berangkat ke sekolah dan temu kangen dengan Zena.

Kenyataan : terkapar di rumah seharian, nonton tv sampai otak mau meledak.

Saking semangatnya pergi ke sekolah, Zayn harus merelakan luka di kakinya terbentur licinnya lantai kamar mandi. Zayn terpeleset saat mau keluar. Bukan cuma berhenti disitu, kesialan Zayn bertambah karna lukanya gantian tergores ujung meja akibat tabrakan spontannya gara-gara mengejar Winda. Pagi tadi, Winda sedang kumat bandelnya. Dia diam-diam mengambil botol parfum milik Abangnya dan dibawa berlari sekencang yang dia bisa. Hasilnya, Zayn pula yang mendapatkan rasa sakit, sedangkan Winda tertawa puas––sebelum akhirnya dia kena omel sama Bunda.

Biar tau rasa.

Mungkin karna kejadian ini Zayn harus mengganti nama panjangnya menjadi Zayn Untung Zafran Zefrado. Bentuk doa supaya dia selalu mendapat untung.

Zayn kesal dengan keadaan. Hari yang dia anggap sebagai berakhirnya masa penantian akan kepulangan Zena harus tertelan bulat-bulat. Zayn tidak sabar menunggu besok. Hampir saja dia kabur dan mengabaikan larangan Bunda untuk tetap di rumah karna lukanya kembali mengeluarkan darah ditambah memar. Kalau saja dia tidak sengaja menginjak ekor kucing sampai mengerang dan membuat Bunda curiga, semua rencananya akan mulus. Akhirnya, Bunda mengambil insiatif untuk mengunci semua pintu dan jendela rumah agar Zayn tidak bisa kabur lagi.

Rupa-rupanya, kegusaran tidak hanya melanda Zayn, seharian ini Zena juga dibuat kecewa karna absennya Zayn dari kegiatan belajar-mengajar. Sepulang sekolah tadi Zena menemukan fakta kalau rumah Zayn masih sama seperti dulu. Ingin sekali langsung berbelok, tapi Zena ragu-ragu. Finalnya, dia malah berdiam diri di atas sofa ruang tamu rumahnya. Memandang hampa kotak berisi black forest cake yang tadi dia belikan untuk Zayn.

"ZEZEEEE!"

Serupa dengan Zayn, di keluarganya Zena di panggil Zeze––selain adek.

"Apa?"

"ZEEE!"

"Apa, Kak?"

"ZEZEEEE! Udah pergi apa ya dipanggil nggak nyaut?"

"Apa, Kak, udah nyautin daritadi juga!" teriak Zena kesal. Pantas saja kalau Arthur tidak melihat keberadaan Zena, posisi duduk adiknya itu melorot di atas sofa, tenggelam di warna coklat tua.

"Lagian ngomongnya dalem hati mana gue denger," Arthur langsung duduk menyebelahi Zena. "Katanya mau ke rumah Zayn, kenapa masih bengong aja lo?"

"Lagi ngumpulin nyali."

"Dih, dipikir Zayn apaan pake ngumpulin nyali segala."

"Kakak nggak ngerti sih."

"Alah, lebay ah," jawab Arthur lalu melihat pada kotak di depan Zena. "Itu kuenya kalo nggak jadi dikasih ke Zayn gue makan aja deh."

"Ih, jangaaaan!" Zena mendekap kotak kuenya sebelum disambar oleh Arthur. "Ini buat Zaza!"

"Ya sana dong anterin. Keburu Zayn ditengokin pacarnya ntar baper lagi lo kaya kemarin."

Gara-gara ucapan Arthur, Zena jadi mengingat kejadian di rumah sakit kemarin.

Anak perempuan berumur enam belas tahun itu berdiri di depan kamar rawat nomor 308––yang tidak sengaja dia dengar dari temannya di kelas. Tangannya yang dingin menempel pada kenop pintu berwarna abu-abu mengkilap. Dari kaca persegi panjang di hadapannya, dia bisa melihat cowok itu berbaring di atas ranjang dengan beberapa perban menempel di tangannya.

"BEYBIII KAMU KENAPA BISA JATUH SIH AH?!"

Suara teriakan cewek dari dalam terdengar jelas di telinganya karna pintu sudah berhasil terbuka sedikit, menampilkan celah sempit.

Zayn and Zena ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang