Zena menatap Zayn dengan cemas, sekaligus merasa aneh melihat perubahan sikap sahabatnya yang begitu drastis. Sepuluh menit di kantin, ditemani dua piring batagor dan dua gelas es teh, perbedaan terlihat ketika Zena sudah menghabiskan makanannya sementara yang dilakukan Zayn hanyalah menatap potongan makanan bersaus kacang di piring miliknya. Seolah obyek yang dia lihat merupakan penemuan langka sehingga dia harus mengetahui secara seksama apa saja komposisi yang ada di dalamnya.
Niat Zena untuk bertanya terasa maju-mundur. Berbagai kemungkinan mulai apakah Zayn sakit karna kelelahan mengikuti acara Survival Training, kena marah bundanya, bertengkar dengan Yosa atau Winda sampai mungkin saja Zayn sedang ada masalah dengan Gladys berdesakan di otaknya. Mencari kepastian bukanlah perkara mudah karna sejujurnya Zena juga bisa memposisikan dirinya sebagai Zayn.
Manusia mempunyai kawasan pribadi yang hanya boleh diketahui oleh dirinya sendiri, dan bisa jadi Zayn sedang berada di kawasannya itu, sehingga dia hanya ingin berada seorang diri.
Tapi, kembali lagi ke beberapa menit yang lalu, jika memang Zayn sedang terlibat sebuah masalah dan dia ingin menikmati itu sendiri, untuk apa Zayn repot-repot menarik Zena lalu mengajaknya ke kantin? Sampai memesan makanan dan minuman pun Zayn juga yang melakukan, barulah setelah itu kehampaan terasa nyata.
Ah, pusing juga memikirkan hal itu...
Pilihannya hanya ada dua: pertama, Zena tetap diam sampai bel berakhirnya istirahat berbunyi yang itu artinya dia tidak tahu apa-apa mengenai perubahan sikap Zayn, atau kedua, Zena memberanikan diri untuk bertanya saja pada Zayn.
Oke, bertanya, lantas kalau Zayn tidak mau menjawab bagaimana?
Ah, jadi tambah pusing kan!
"Kenapa, Ze?"
Zena sedikit terkesiap. Mungkin saja tingkah anehnya barusan yaitu menggelengkan kepala secara berkali-kali tertangkap oleh mata Zayn. Zena bersikap seolah semua dalam garis normal, tidak enak juga kan kalau Zayn tahu dirinya sedang kepo berat.
"Eh, anu, itu kok.. ah, apa ya? Nggak deng, Za, nggak ada apa-apa sih. Hehe," bodohnya, kata-kata yang diucapkan Zena malah memperkuat alasannya terlihat aneh di hadapan Zayn, membuat Zayn merasa pantas menanyakan kenapa pada Zena.
"Boong kan, pasti lagi mikirin sesuatu," cowok yang duduk di depan Zena itu melipat kedua tangannya di atas meja, memusatkan atensinya pada wajah Zena. "Ada apa? Mau tau Zaza kenapa daritadi diem aja?"
"Iya sih sebenernya, tapinya ya kalo Zaza nggak mau cerita juga nggak papa kok, beneran. Zeze nggak kepo-kepo banget," Zena tersenyum bodoh, dua tangannya bergerak teratur di hadapan Zayn.
"Nggak kepo kenapa kayak mikirin Zaza mulu?"
Zena mendelik. Bagaimana Zayn bisa tahu? Apa jangan-jangan Zayn ini ada garis keturunan dengan Ki Kusumo?
"Idih, Zaza mah GR, siapa juga yang mikirin Zaza," jawab Zena lalu menyedot es tehnya. "Lagian ya kalo Zaza nggak mau makan batagor kenapa tadi mesti pesen coba, buang-buang duit tau nggak."
"Tadi Zaza laper, cuma sekarang udah enggak. Kalo Zeze mau batagor Zaza buat Zeze aja."
"Kenyang ih," ucap Zena sambil menggeleng, tangannya mengusap perut ratanya. "Dipikir Zeze babon apa makannya banyak gitu. Zaza tuh yang makan, biasanya juga suka nyerobot makanan Zeze sekarang malah Zaza nyuekin makanan sendiri."
"Zeze kan emang babon," goda Zayn lantas mencibir Zena.
"Apaan? Suka ngawur ya kalo ngomong," sungut Zena lalu memukul tangan Zayn dua kali. "Biar babon yang penting kan Zaza sayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Zayn and Zena ✔
Jugendliteratur[Teenfict Story] Bagi Zayn, Zena adalah kepingan coklat di atas black forest cakenya, dan bagi Zena, Zayn adalah taburan gula halus di atas donat polosnya. Tanpa keduanya semua terasa hambar.