Gladys mengumpat pelan. Di dalam mulut, lidahnya ia gigiti sendiri. Gladys malu. Hampir saja dia diteriaki oleh Yosa kalau jeritannya menggema di seluruh kamar rawat Zayn.
"Abang mau dibeliin makanan apa?" tanya Bunda. Berdiri di sisi kanan ranjang sambil mengelus kepala putranya.
"Nasi padang ya, Bun. Lauk rendang. Bumbu rendangnya yang banyak."
"Yaelah, bocah. Sakit aja rewel ya lo," sahut Yosa berikut cubitannya pada lengan Zayn.
"Bun–"
"Kakak kenapa sih sama adeknya gitu banget."
Mendapat pembelaan dari Bunda, Zayn dengan spontan memberi unjuk lidahnya untuk mengejek Yosa. Cewek yang lebih tua enam tahun darinya itu hanya mendumel sendiri. Sementara Bunda berpamitan sekaligus menitipkan Zayn pada Gladys dan Arga yang baru datang, Yosa menyambar tasnya yang tertinggal di sofa. Keduanya lantas keluar. Memberikan waktu untuk mereka bertiga berbincang.
"FUH!" terdengar hembusan nafas kelegaan dari Gladys.
"Makanya kalo punya mulut dipakein rem," sahut Arga mengejek. Keranjang buah dari Gladys diangsurkan padanya. "Lah, babu kali gue."
"Berisik, kang cendol!" Gladys mendekat pada Zayn. Binar matanya menampilkan kecemasan. "BEYBIII! KAMU KENAPA BISA JATUH SIH AH?!"
Begitulah alasan kenapa Gladys harus menutup mulutnya ketika masih ada Bunda dan Yosa. Suaranya sebelas-dua belas dengan Yosa. Cuma, suara Gladys tidak secempreng Yosa. Dia manis. Dari segi fisik, dia tipe cewek idaman semua cowok. Zayn sendiri masuk dalam kategori beruntung karna bisa mendapatkan hati cewek itu.
"Ajegile nih cewek satu abis makan apaan dah, bisa bikin budek kuping orang oi!" Arga menyambar. Keranjang buahnya hampir saja jatuh karna kaget. Gladys sendiri tidak mempedulikannya, dia terlalu sibuk untuk mengusap tubuh Zayn dan mengamati luka-lukanya.
"By, aku cuma luka-luka biasa, udah ah. Nggak pake lebay," ucap Zayn. Gladys melepaskan tangannya dari tangan Zayn yang tertutup perban. Cewek itu cemberut mendengar jawaban Zayn.
"Tetep aja luka kan. Sakit kan. Berdarah. Ada bekas lukanya. Bikin kulit kamu nggak mulus lagi. Bikin kamu nggak bisa sekolah. Bikin kamu––"
"Gladys mulai kan. Seriusan aku nggak papa. Palingan besok bisa sekolah lagi," Zayn pusing kalau pacarnya itu sudah cerewet. Seperti dunia hanya miliknya sendiri. Berbicara tanpa jeda dan selalu beruntun tanpa memakai tanda titik koma.
Zayn melirik pada Arga yang sudah anteng di sofa. Mata cowok itu berkedip melihat sesuatu di layar ponselnya. Jari-jarinya pun mengetuk terampil. Zayn harus bisa meminta penjelasan rinci dari temannya itu. Apa lagi kalau bukan mengenai Zena. Sebelumnya, Zayn harus bisa menyingkirkan Gladys dulu. Selain cerewet, Gladys juga pencemburu berat. Apa jadinya kalau tiba-tiba Zayn melontarkan pertanyaan pada Arga soal Zena.
"By, boleh minta tolong nggak?" tanya Zayn terdengar manja.
"Apa, Beb? Mau makan sesuatu? Atau mau minta temenin pipis?"
"Mau apel. Cuciin ya sekalian kupasin."
"Apel doang?" Gladys bangkit dari bangkunya. Berjalan memutari ranjang Zayn dan membuka plastik pembungkus parsel buahnya.
"Nggak ada semangka?"
"Ih, ya nggak adalah, Beb. Masa iya parsel ada buah gituan. Kegedean kali."
"Biarin gede, biar kamu lama nyucinya," gumam Zayn pada dirinya sendiri. Selain apel, Zayn mencari buah lain yang sekiranya membutuhkan bilasan air untuk dibersihkan. "Pear sekalian deh, sama anggur juga boleh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Zayn and Zena ✔
Novela Juvenil[Teenfict Story] Bagi Zayn, Zena adalah kepingan coklat di atas black forest cakenya, dan bagi Zena, Zayn adalah taburan gula halus di atas donat polosnya. Tanpa keduanya semua terasa hambar.