[15] Matahari Dan Bulan

18.6K 1.1K 38
                                    


15. Matahari Dan Bulan

  "Saya harap, nanti kapan-kapan Ran bisa terkontrol lagi. Kasihan."

  Revan menunduk, setelah berlarian sekuat tenaga di koridor rumah sakit tadi sekarang ditambah dengan kondisi Ran yang sangat buruk membuat raganya merasakan hantaman yang sangat sakit.

  "Jangan membuat Ran semakin terpuruk, jaga adik kamu baik-baik." Dokter spesialis yang sedang berbicara kepadanya terlihat memasang wajah dengan ekspresi iba, "Saya sibuk, dan seharusnya Bijus bisa lebih merhatiin Ran!"

  "Jangan salahkan orang lain, kamu tau sikap Ran kan? Dia keras kepala dan saya paling tau keluarga Prayoga yang memang seperti itu semua," mendengar hal itu, Revan menghembuskan nafas kasar sambil mengalihkan pandangannya.

  "Di luar selalu terlihat terpandang padahal di dalamnya sangat mengenaskan, terlalu mementingkan kehidupan sehingga lupa pada bidadari manis ini."

  Dokter Farhan, dokter spesialis kanker satu-satunya yang paling dipercayai untuk menangani Ran di rumah sakit ini sekaligus sebagai ayahnya Saras. Farhan terlihat menaikan satu alisnya sebelum mengatakan sesuatu lagi, "Betul begitu Revan?"

  "Ya. Revan tau itu tapi apa yang harus Revan lakuin? Semuanya rumit om."

  "Saya bisa mengaturnya, asalkan kamu bahagiain anak kesayangan om. Saras." Matanya langsung membulat mendengar pernyataan dari pria dihadapannya ini, "Maksud om?"

  "Asal kamu tau, Darma ayah kamu sudah banyak berbicara tentang hubungan kalian, dan Saras juga akhir-akhir ini selalu terlihat lesu, apakah kamu menyakitinya?" Revan mengusap pelan wajahnya "Ini sedang membicarakan perihal Ran, kenapa ujung-ujungnya,.."

  "Ini menyangkut Ran juga, saya bisa saja dengan senantiasa membuat perjanjian dengan keluarga Prayoga untuk menjodohkan kamu dengan Saras, lalu Ran selamat di tangan saya."

  "Tapi, saya kasih kamu kesempatan untuk benar-benar tulus menyayangi Saras. Dia itu anak yang om banggakan, bidadari om, anak satu-satunya dan jangan sampai kamu menyakitinya."

  "Om tau? Seorang dokter tidak seharusnya seperti ini, dokter bukannya punya prinsip?" Revan bersedekap dada sambil menatap tajam kearah Dokter Farhan yang malah tersenyum tipis, "Semua manusia itu sama. Wajar bila sesama manusia mengkhianati manusia lainnya demi keuntungan pribadi."

  Farhan beranjak dari tempat duduknya sambil memasukan tangannya ke dalam saku jas yang dikenakannya. "Kamu tau? Kelak nanti jika kamu menjadi ayah, apa yang akan kamu lakukan jika berada di posisi saya? Membiarkan anaknya patah hati?"

  Lidahnya kelu, apa yang dikatakan bahkan dibalikan dokter Farhan sangat susah dicerna oleh otaknya saat ini, jalan pikirannya benar-benar buntu.

  "Saya ingatkan sekali lagi, bahagiakan Saras."

őőő

  Velma menggigit pelan bibirnya sambil mengusap kening yang sedari tadi berdenyut nyeri. Tangannya memegang ponsel yang ia sengaja dekatkan kepada telinganya, menunggu seseorang mengangkat teleponnya saat ini.

  "Halo, pak! Mohon maaf saya tidak masuk. Sedang tidak enak badan." Velma langsung menyahut ketika mendengar nada sambung di ponselnya sambil sedikit berbincang-bincang dengan pak Yosep atasannya, setelah beberapa menit kemudian dia memutuskan sambungannya.

  Kepalanya kembali berdenyut nyeri, sangat nyeri. Tubuhnya ia rebahkan di tempat tidur sederhana miliknya, matanya ia luruskan ke atas. Sedikit menerawang dengan keadaan Revan saat ini dan Ran? Velma tidak terlalu memikirkan siapa wanita itu.

  Jujur saja dirinya hanya mengetahui sedikit tentang kehidupan Revan, dan itu juga hanya tentang Revan adalah putra dari pemilik sekolah yang paling dibanggakan sekaligus pria nomor satu di SMA Binusi ini karena wajahnya yang tampan dan kharismanya yang kuat.

  Dan untuk sekarang, saat ini, yang Velma tau kalau dirinya benar-benar jatuh cinta pada Revan tanpa bisa memerdulikan risikonya yang tidak main-main.

  Bisa saja dirinya dikeluarkan dari sekolah atau di paksa untuk pergi jauh-jauh dari kehidupan Revan dengan sogokan uang, tapi opsi pertama terlalu nanggung walaupun keluarga Prayoga tidak tanggung-tanggung. Sebentar lagi dirinya juga melewati semester dua dan keluar dari SMA Binusi ini.

  SMA yang mempertemukannya dengan pria angkuh tetapi sangat menawan. Walaupun Revan nampak kasar tapi sebetulnya ia sangat lembut jika dikenali lebih dekat, Velma yang merasakannya sendiri.

  Jika opsi kedua, mungkin ini yang lebih berpengaruh. Menurut salah satu novel yang telah ia baca, seseorang yang miskin sangat tidak pantas bersanding dengan seseorang yang memiliki latar belakang disegani. Tentu saja sekuat tenaga dirinya akan menahan perasaannya, sadar pasti sadar tetapi jika sudah waktunya dirinya pasti akan memberitahukan kepada Revan.

  Perasaan yang akhir-akhir ini membuat seolah-olah Revan adalah hidupnya, semangatnya ataupun apalah itu dan Velma tau ini artinya jatuh cinta, Jatuh. Cinta.

  Melihat bolpoin dan sebuah buku kecil di dekatnya Velma langsung mengambilnya dan mulai mencurahkan isi hatinya, walaupun menurut sebagian orang menulis itu kuno dan lebih gaul di update-kan agar semua orang bisa care terhadapnya tetapi Velma bukan tipe seperti itu.
 
  Velma lebih senang menulis, buku tidak akan mengkhianatinya. Berbeda dengan Social media yang bisa membuatnya malu sendiri mengumbar-umbarkan kehidupannya yang seperti ini ke orang lain.

  Tanpa sadar matanya mulai memberat, sakit di kepalanya semakin menjadi-jadi, saat ini juga dirinya menutup buku kecil itu dan memilih untuk beristirahat.

   Di samping itu, angin semilir dari arah jendela membuka lembar demi lembar kertas di dalam buku kecilnya, sampai angin itu berhenti dan membuat buku itu seolah-olah membicarakan isinya.

   "Apakah kita bisa bersatu? Kita hanya seperti matahari dan bulan yang tidak akan pernah bisa bersatu di langit yang sama."

őőő

Maaf banget baru bisa update, maaf juga pendek gitu:" hati-hati typo bertebaran. Hehe votements nya yaa^^ makasi banyak! keep reading.

Ddyulian

I Love You, RevanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang